"Aaah macam betul aja, coba lo yang main, bisa nggaaaakkk...!!??", teriak saya ketika seorang komentator mengkritik David Beckham yang tidak bisa menggiring bola dalam sebuah big match Liga Inggris antara Manchester United versus Arsenal. Dulu saya memang fans garis keras David Beckham di Manchester United, sehingga saya nggak rela ketika idola saya tersebut dikritik oleh si komentator.
.
Komentator sepak bola atau komentator apapun memang seringkali 'bikin emosi' dengan komentar ataupun kritikannya. Penggemar sepak bola jaman old pasti ingat dengan sosok Bung Kusnaeni atau akrab disapa 'Bung Kus". Beliau ini seorang wartawan olahraga yang sangat tajam ketika menjadi komentator. Meskipun saya yakin beliau tidak bisa bermain sepak bola dengan baik dan benar, tapi komentar-komentar ataupun kritikan-kritikannya terhadap permainan sebuah tim sepak bola ataupun permainan seorang pemain sepak bola profesional seolah-seolah dia adalah seorang yang sangat ahli dalam cabang olahraga ini.
.
Banyak lagi contoh komentator atau kritikus di berbagai bidang yang sebenarnya tidak memiliki latar belakang praktisi di bidang tersebut. Bahkan seringkali seorang yang pernah menjadi praktisi justru tidak dapat memberikan komentar atau kritik yang tajam atau berkualitas.
.
Jika reaksi seorang fans seperti saya bisa sedemikian sengitnya, kira-kira bagaimana reaksi seorang David Beckham jika dikritik oleh orang yang jelas-jelas tidak bisa bermain sepak bola? Sebenarnya saya pun sangat ingin tahu bagaimana reaksinya dikritik oleh Sir Alex Ferguson yang notabene 'gak sukses-sukses amat' sebagai pemain sepak bola profesional. Apakah pernah dia berkata "coba lo aja Sir yang main"?.
.
Dikritik memang tidak enak, apalagi oleh orang yang jelas-jelas tidak memiliki keahlian di bidang itu. Alih-alih kita merasa termotivasi, yang ada malah mencibir dan keluar perkataan: "ya udah, lo aja deh yang gantiin..". Reaksi tersebut sah-sah saja sebenarnya apalagi kalau belum se-jago dan se-profesional David Beckham, namun apakah reaksi itu tepat dalam proses pengembangan diri kiranya perlu dipertanyakan lagi.
.
Dalam teori Johari Window (http://www.bukannotadinas.com/2017/11/johari-window.html) disebutkan bahwa selalu ada bagian diri kita yang bisa dilihat orang lain meskipun kita tidak menyadarinya. David Beckham tahu persis hal ini, sehingga dia dengan rela-ikhlas dan penuh kerendahan hati dapat menerima kritikan atas permainannya, dan hal itu dijadikannya bahan untuk lebih meningkatkan performa-nya di lapangan hijau.
.
Sikap profesional seperti seorang David Beckham ataupun tokoh-tokoh sukses lainnya dalam menerima kritik tentunya tidak dibangun dalam waktu 1-2 tahun. Pembentukan sikap tersebut butuh waktu panjang untuk menjadi suatu kebiasaan.
.
Mengkritik ataupun menerima kritik memang ada ilmunya. Bagaimana memberikan kritik yang konstruktif, kritik yang tidak sekedar nyinyir. Sama halnya dengan menerima kritik; bagaimana menanggapinya, bagaimana menjadikannya sebagai sebuah motivasi. Semua ada ilmunya, ada pembelajarannya dan sebaik-baik belajar adalah dengan diulang-ulang. Jadi, jangan alergi terhadap kritik. Kritik itu bukanlah pisau yang dilemparkan untuk membunuh tapi justru untuk membantu kita mempertajam kemampuan. Kritik itu bukan suara permusuhan ataupun ujaran kebencian. Kritik itu adalah ungkapan kepedulian. Bayangkan bagaimana sedihnya jika sudah tidak ada yang peduli dengan kita? What if I've never love again?
Jakarta, 23 Desember 2017