Tulisan ini dimaksudkan untuk
menjawab tulisan rekan saya disini. Pengkavlingan anggaran dalam APBN memang menjadi
masalah bagi pengganggaran kita. Apalagi jika pengkavlingan itu merupakan
mandat dari sebuah undang-undang bahkan dalam konstitusi kita. Saya yakin
apabila kita ingin mereview kebijakan ini, akan ada pembahasan yang
sangat-sangat alot di senayan, mungkin di ikuti dengan beberapa demo sampai
kepada penandatangan petisi online. Tapi sebelum saya jelaskan lebih panjang
mari kita lihat dulu hak dan kewajiban warga negara terkait pendidikan yang
tertera dalam UU 20/2003 tentang Sisdiknas yaitu “setiap warga negara mempunyai
hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu” (Pasal 5 (1)) serta prinsip
pendidikan di Indonesia yaitu “pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan
berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa” (Pasal 4 (1)).
Oleh karena itu, daripada kita bergelut untuk memikirkan apa perlu kebijakan
20% anggaran pendidikan ini di revisi atau tidak, akan lebih baik jika kita
melihat kedepan dan menilai perlukah anggaran pendidikan 20% terhadap APBN
untuk bisa memenuhi hak setiap warga negara dengan menganut prinsip tersebut.
Tapi sebelum saya menjawab
pertanyaan tersebut, saya akan membuat perbandingan potret pendidikan dasar di
negara tempat saya belajar saat ini (UK) dengan di Indonesia. Di UK pendidikan
dasar adalah untuk semua anak berusia 3 tahun s.d 18 tahun. Bagi Pemerintah UK,
pendidikan merupakan hak setiap anak tanpa memandang gender, ras, agama, status
sosial bahkan kewarganegaraan. Sehingga jelas bagi semua anak dalam range usia
tersebut wajib untuk sekolah, bahkan kalau sampai ada anak dalam usia tersebut
tidak sekolah, orang tua dari si anak tersebut dapat di polisikan karena telah
bertindak zolim dengan tidak memberikan hak si anak berupa pendidikan. Tentu
saja, Pemerintah UK juga konsekwen bahwa anak-anak wajib sekolah bukan berarti
mereka harus bayar uang sekolah karena kalau itu terjadi berarti pemerintahnya
yang zolim. Sehingga pendidikan anak dari mulai PAUD (3 tahun), TK (4 tahun),
kelas 1-12 adalah GRATIS. Tugas orang tua cukup antar jemput anaknya ke sekolah
saja. Segala keperluan anak, baik fasilitas pendidikan sampai makan siang semua
di tanggung negara. Tentu saja orang tua juga diberi pilihan apakah anak mereka
ingin makan makanan yang disediakan sekolah atau bawa bekal sendiri.
Hal yang tidak ditanggung negara
adalah peralatan sekolah berupa baju, celana, sepatu dan kaos kaki, yang mana
orang tua anak dapat membeli di toko yang telah ditunjuk oleh sekolah atau
membeli sendiri di luar tapi dengan standar yang telah ditentukan sekolah.
Standar yang ditentukan tersebut hanya mencakup masalah warna, seperti warna
sepatu yang harus hitam polos, celana yang berwarna gelap dan baju yang
warnanya tergantung masing-masing sekolah lengkap dengan emblem sebagai
identitas sekolah. Ketentuan warna hitam polos pun dimaksudkan supaya semua
anak berpenampilan sama sehingga tidak ada yang iri melihat temannya ada yang
ngejreng sendiri.
Penampilan berpakaian juga di
tentukan oleh sekolah perihal apa yang boleh dipakai dan apa yang tidak, pun
dengan maksud yang sama untuk menghilangkan kecemburuan social diantara anak
karena masing-masing anak memiliki orang tua yang berbeda latar belakang,
sehingga penampilan seorang anak direktur bergaji mentereng ya harus sama
dengan penampilan anak cleaning service bergaji UMR, supaya anak tidak minder
untuk bergaul dengan teman-temannya. Dalam hal, orang tua anak kesulitan untuk
membeli perlengkapan anak pun bukan merupakan masalah serius karena pihak
sekolah selalu mengadakan charity day yaitu semacam bazar diskon gede-gedean
untuk pakaian sekolah bekas yang masih layak pakai dan barangnya memang masih
sangat layak pakai.
Bagaimana dengan sekolah swasta?
Di UK memang ada sekolah swasta dan sekolah ini berbayar. Tapi jangan salah
yang dibayar disini adalah fasilitas extra di luar fasilitas minimum sebuah
sekolah yang ditentukan oleh pemerintah. Jadi pemerintah membuat standar
fasilitas minimum sebuah sekolah seperti luas sekolah, rasio anak dan guru,
ketersediaan tempat bermain, adanya pagar pengaman, adanya computer, alat
bermain anak, buku, ruang kelas yang nyaman, toilet yang bersih dan ramah anak
dan lain-lain. Kalau ingin dibandingkan fasilitas sekolah di UK, kira-kira kaya
Al-Azhar lah cuma minus PR yang sejiblug.
Yup, di sini anak-anak gak dikasi
PR dan pelajaran yang diajarkanpun sederhana gak serumit di Indonesia bahkan
buku tulispun mereka gak harus bawa (ini menurut anak teman saya yang sudah SMP
di Jakarta dan saat ini masuk kelas 10 di UK). Dan ini adalah standar minimum
sekolah yang ditentukan pemerintah dan dibiayai pemerintah 100% tanpa mandang
status negeri atau swasta. Nah, untuk sekolah swasta yang memiliki fasilitas
esktra untuk pendidikan anak seperti pelajaran berkuda, memanah, kemping,
berenang dan mendayung maka orang tua yang harus membayar fasilitas ekstra ini
(and believe me it’s ridiculously expensive).
Nah begitulah sekilas tentang
pendidikan dasar di UK, bagaimana dengan di Indonesia? Setau saya pemerintah
baru menjalankan wajib belajar 9 tahun yaitu SD dan SMP. TK dan PAUD gak masuk
hitungan, bahkan SMU pun sependek pengetahuan saya belum di wajibkan.
Pendidikan dasar wajib tanpa memandang SARA kecuali anak expatriate. Pemerintah
juga membagi para peserta didik (anak-anak) kedalam 3 kasta (walau tidak diakui
oleh pemerintah) yaitu kasta paria bagi anak orang miskin, kasta sudra bagi
mereka yang berasal dari keluarga yang penghasilan orang tuanya pas-pasan tapi
gak masuk kategori miskin, serta kasta satria bagi mereka yang orang tuanya
dianggap berkantong tebal (walau masih belum jelas yang dikantongi uang atau
surat utang).
Nah, mereka yang dari kasta paria
menerima kartu Indonesia pintar yaitu bantuan full dari pemerintah berupa duit
dengan nominal tertentu langsung kepada si anak untuk membayar keperluan
sekolah mereka dari mulai buku, baju, sepatu, aksesoris, henpon, pulsa oops…
setau saya 2 item terakhir dilarang dibeli pakai dana KIP walaupun …. ya gitu
deh. Untuk mereka yang dari kasta sudra, orang tua dari kasta ini selalu sibuk
setiap tahun ajaran baru terutama untuk bikin surat pernyataan BP7 (Bapak Pergi
Pagi Pulang Petang Penghasilan Pas-Pasan) supaya dapat diskon SPP si anak, yah
nasib jadi orang yang gak dianggap kaya maupun miskin. Nah, bersyukurlah
anak-anak yang dari kasta satria karena pihak sekolah biasanya memberi karpet
merah buat mereka dengan privilege tertentu seperti gak ada larangan bawa
Galaxy S7 atau Iphone keluaran paling anyar bahkan fasilitas ujian pun
disediakan dari mulai kisi-kisi sampai jaminan nilai OK. Padahal orang tua dari
anak kasta satria inipun sebenarnya ada 3 golongan yaitu OKB (orang kaya
beneran), BPJS (bergaji pas-pasan jiwa sosialita), dan debt collector (alias
tukang ngutang sana sini dari mulai BNI, BRI sampai kantin nawilis).
Bagaimana dengan fasilitas
pendidikan yang disediakan sekolah? Hal ini sangat bergantung dengan lokasi
terutama lokasi peserta didik dari kasta satria. Makin mudah sekolah di akses
oleh banyak peserta didik dari kasta satria, fasilitas sekolah pun makin wow
(UK mah kalah dah). Makin banyak sekolah di akses oleh peserta didik dari kasta
paria dan sudra, biasanya gurunya yang jadi selebritis dadakan karena
dipolisikan orang tua akibat mengibas anak mereka supaya disiplin. Padahal saya
dulu di sentil dan di cubit sama guru sampai nangis gara-gara gak ngerjain PR,
ngelapor sama orang tua malah nambah gamparan (oops.. numpang curcol).
Bagaimana dengan mutu pendidikan
antara 2 negara ini? Kalau kita ingin membandingkan mutu pendidikan antara UK
dan Indonesia, maka tergantung parameter yang digunakan. Kalau parameter yang
digunakan matematika, jelas Indonesia lebih unggul karena matematika yang
diajarkan di UK hanya kali, bagi, jumlah dan selisih sedangkan anak-anak di
Indonesia sudah diajari diferensial, integral dan trigometri sejak SMP bahkan
SD pun sudah belajar aljabar dan geometri.
Kalau parameternya olah raga saya
yakin anak UK pasti kalah sama anak Indonesia, karena anak UK selalu diajarkan
untuk minta maaf kalau berperilaku agak keras terhadap temannya apalagi kalau
sampai menjurus kepada bully, berbeda dengan anak Indonesia yang pantang kalah
(bukan pantang menyerah) dan kalau kalah mereka akan mewek atau tawuran.
Tapi kalau parameternya
berperilaku sportif, legowo, menyadari kelebihan lawan dan kekurangan diri
sendiri, saya yakin anak UK masih bisa lebih unggul dari anak Indonesia karena
memang hal-hal inilah yang diajarkan buat anak-anak. Saya pun yakin bahwa
sekolah yang peserta didiknya dari kasta satria juga pasti mengajarkan hal-hal
yang diajarkan kepada anak-anak di UK tapi sekali lagi hanya untuk kasta
satria.
Nah, disinilah pentingnya
anggaran pendidikan itu. Untuk bisa menghilangkan pengkastaan di sector
pendidikan dibutuhkan anggaran yang luar biasa besar. Kemendikdas harus
menyediakan aturan standarisasi sekolah yang mengatur jenis fasilitas yang
wajib dimiliki sekolah tanpa membedakan status negeri atau swasta dan tentu
saja biaya untuk bisa memiliki fasilitas tersebut di tanggung oleh pemerintah
bukan orang tua siswa. Tidak boleh ada sekolah berstandar khusus seperti SBI
atau RSBI atau RUPS (ehh…) atau apapun namanya yang hanya anak kasta satria
yang bisa akses, sehingga dengan penyamaan standar untuk semua sekolah maka
pengkastaan pun akan hilang.
Ditambah juga dengan aturan apa
yang boleh dan yang tidak boleh dibawa siswa supaya semua anak berpenampilan
sama, sehingga anak tukang bakso gak akan minder main sama anak dirjen. Tentu
saja hal ini harus di barengi dengan gratis biaya sekolah tanpa memandang SARA
dan status social, bahkan kewarganegaraan kayak di negara-negara EU (kalau yang
ini cukup mimpi dulu). Tentu saja jika ada sekolah yang ingin memiliki kegiatan
ekstrakurikuler berupa memanah, berkuda, balapan atau lainnya ya silakan dimana
biaya eskul ini akan ditanggung oleh orang tua murid. Dan gak usah kawatir ada
perbedaan kasta disana, karena sudah pasti cuma anak kasta satria saja yang
sanggup dan tentu saja orang tuanya juga mau anaknya sekolah disana.
Begitupun dengan mutu pendidikan.
Mengajari anak matematika memang penting, tapi tidak lebih penting dari pada
mengajari mereka sejarah, melukis, menari, memahat termasuk juga mengajari
mereka untuk menghargai mahluk hidup lain ciptaan Tuhan. Agar jangan sampai
anak-anak melihat satwa liar sebagai komoditas untuk diperjual belikan atau
melihat kucing sebagai pelepas stress setelah ujian dengan cara di gebukin
sampai mejret. Fasilitas olahraga harus menjadi fasilitas utama yang dimiliki
sekolah agar anak-anak dapat berolahraga, belajar untuk pantang menyerah dan
sportif dalam artian mau menerima kekalahan dan mengakui kelebihan lawan, bukan
diajari untuk pantang kalah, menang bangga, kalah sedih, dicurangin mewek abis
itu walk out.
Nah, kembali kepada pertanyaan yang
menjadi judul tulisan ini. Untuk bisa menjawab pertanyaan tersebut harus
dibarengi dengan komitmen untuk mencapai output yang diinginkan yaitu pendidikan
yang merata untuk semua warga negara tanpa pengkastaan alias tidak
diskriminatif. Apabila untuk dapat mencapai output tersebut diperlukan anggaran
yang besar maka jawaban judul tersebut adalah YA.
Sehingga pertanyaan berikutnya
adalah “apakah anggaran tersebut cukup?” Jika Ya, bagus donk, jika tidak
berarti anggaran pendidikan dalam APBD pun harus wajib 20% dan pemerintah pusat
harus bisa memaksa daerah untuk mengikutinya. Hal ini tentu juga dibarengi
dengan pemahaman terhadap kearifan local contohnya untuk daerah Papua maka
ekstrakurikuler berburu dan memanah bisa menjadi hal yang wajib dan sekolah
harus mempunyai fasilitas tersebut. Sedangkan untuk anak-anak di darah pesisir
mungkin perlu fasiltas untuk belajar aqua marine sehingga perlu alat-alat
diving. Tentu saja anggarannya dapat berasal dari APBN dan APBD. Intinya adalah
bagaimana pemerintah pusat harus bisa memberikan panduan kepada pemerintah
daerah tanpa mengabaikan kearifan local di setiap daerah.
Hal ini tentu membutuhkan
komitmen yang sangat kuat di level pusat dan tentu saja anggaran yang mumpuni
juga (bukan naik turun kayak denyut jantung). Lantas bagaimana apabila anggaran
20% tersebut ternyata berlebih? Lha wong untuk mencapai output tersebut saja
belum bisa koq sudah bisa bilang berlebih, kalau kurang mungkin dan tentu saja
20% justru akan menjadi pembatas agar pemerintah tidak sembrono untuk dapat
mencapai output yang diinginkan, mengingat belanja pemerintah juga kan bukan cuma
di sector pendidikan saja.
Saya yakin komponen biaya paling
mahal adalah pemberian subsidi kepada anak-anak tersebut. Sebagai ilustrasi
anggap saja anak yang harus di subsidi ada 50 juta (dalam APBN 2017 penerima
KIP sebanyak 19,7 juta dengan besaran yang berbeda untuk SD, SMP dan SMA dimana
paling besar untuk SMA sebesar Rp 1juta/orang/tahun), anggap saja biaya untuk
mendidik 1 orang anak dipukul rata Rp2 juta/tahun maka dibutuhkan setidaknya Rp100
triliun/tahun untuk memberikan pendidikan gratis yang inklusif untuk semua anak
di Indonesia, di mana anggaran pendidikan dalam APBN 2017 sebesar Rp400
triliun. Lebih dari cukup donk.
Lantas bagaimana dengan gaji para
pendidik? Biaya maintenance dan infrastruktur sekolah? Apalagi kalau ada
standarisasi infrastrutur sekolah oleh pemerintah, cukupkah duit Rp400 triliun
itu? Nah inilah yang paling tricky dan yang selalu menjadi bahan debat kusir
para elit. Karena kebanyakan orang hanya berpikir linear bahwa diperlukan dana
sebesar sekian untuk memberi subsidi pendidikan buat seluruh anak Indonesia
plus gaji guru plus infrastruktur sekolah plus lain-lain. Sehingga munculah
angka fantastis yang menganggap pemberian subsidi buat seluruh anak Indonesia
adalah hal mustahil. Seharusnya kita berpikir bahwa biaya yang dikeluarkan oleh
orang tua anak merupakan uang yang digunakan untuk membayar gaji guru, pembangunan
fasilitas sekolah, maintenance dan pembelian alat sekolah karena sekolah selalu
memungut uang dari orang tua siswa dengan alasan ini. Logikanya, apabila biaya
tersebut ditanggung oleh negara, orang tua siswa sudah gak perlu ngeluarin duit
lagi buat bayar SPP sama uang pangkal sekolah bahkan termasuk juga uang jajan si anak.
Dengan kata lain, pemberian dana
tunai untuk membeli alat sekolah yang disalurkan untuk kasta paria (melalui
KIP) adalah kebijakan yang keliru dan bersifat pemborosan, karena hal ini
justru menciptakan diskriminasi dan pengkastaan diantara para siswa dan bahkan
tidak menutup kemungkinan untuk menciptakan bully serta perbuatan-perbuatan
amoral yang dilakukan ABG alay yang kerap viral di media social. Hal ini justru
mencederai prinsip pendidikan itu sendiri yang berkeadilan serta tidak
diskriminatif bahkan output yang diharapkan pun malah kerap menyimpang dari tujuan
pendidikan nasional yaitu untuk mengembangkan potensi anak agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab.
Yang harus dipikirkan adalah
berapa gaji layak seorang guru di setiap daerah dengan memperhatikan indeks
kemahalan dari masing-masing daerah, berapa biaya maintenance yang diperlukan,
dan berapa biaya untuk pembangunan fasilitas sekolah agar mencapai standar yang
ditentukan. Sehingga anak-anak tinggal melangkah doank ke sekolah duduk manis
dan belajar yang bener, orang tuanya cukup nganterin saja gak usah pusing
dengan SPP dan uang pangkal karena komponen itu sudah di bayar pemerintah.
Bagaimana dengan pembelian alat
sekolah, itulah sebabnya kenapa kurikulum sekolah juga harus diperhatikan
(silakan lihat argument saya soal mutu pendidikan). Karena kurikulum
mempengaruhi alat sekolah apa yang harus dibeli, semakin sederhana kurikulum
semakin sedikit pernak-pernik yang harus dibeli dan itulah yang seharusnya
dicapai. Toh, UU Sisdiknas juga tidak bertujuan untuk menciptakan semua anak
jadi professor kan.
Dalam praktek saat ini memang
beberapa sekolah ada yang benar-benar tidak memungut bayaran kepada orang tua
siswa tapi syarat dan ketentuan berlaku, sehingga tetap saja masih ada
diskriminasi disini. Belum lagi ketimpangan mutu pendidikan untuk setiap
sekolah bahkan untuk sekolah yang berstatus negeri sekalipun, dalam daerah yang
sama baik level provinsi, kabupaten maupun kota.
Kesimpulannya, tujuan yang kita
tentukan dalam UU Sisdiknas memang masih jauh dari standar pendidikan di negara
maju. Tapi untuk dapat mencapai tujuan tersebut saja, jauh panggang dari api.
Oleh karena itu daripada memikirkan atau bahkan memperdebatkan perlu tidaknya
anggaran pendidikan 20% dari APBN, lebih baik waktu dan tenaga kita fokuskan
untuk bagaimana agar anggaran yang sudah 20% tersebut dapat mencapai tujuan
yang dicita-citakan dalam UU Sisdiknas tersebut. Bahkan kalau perlu bagaimana
agar anggaran yang 20% tersebut dapat mencapai standar pendidikan yang setara
dengan negara-negara maju tersebut seperti di UK.
* Tulisan ini hanya mengulas pendidikan dasar
saja, dimana pendidikan tersebut adalah hak bagi semua warga negara dan
selayaknya di subsidi full oleh pemerintah. Di UK, dari mulai PAUD sampai
College (periode setelah kelas 12 dan sebelum masuk universitas dan mencakup
vokasi) merupakan kategori pendidikan yang di subsidi full oleh pemerintah baik
pusat maupun daerah. Apakah pendidikan tinggi juga perlu di subsidi full
layaknya pendidikan dasar? Akan saya bahas lain waktu.