Gelap mulai menaungi desa Cilimus di kaki gunung Ciremai. Mendung menggelayut disusul rintik-rintik hujan yang kelamaan jadi deras. Sepi, semakin sepi saja rasanya karena satu anggota keluarga yang selalu setia berlelah-lelah dalam kemacetan bersama ketika berpetualang dengan Fazan (nama kendaraan roda empat mereka) harus tinggal di sini. Tadi, di pintu kamar asrama, Kakak melambaikan tangan dengan wajah sumringah.
“In syaa Allah, aku akan mulai mandiri, Bu.” Mantap dan ceria sekali dia berucap sebelum mencium tangan Ibu. Sementara, dada Ibu begitu sesak dan kelopak matanya mulai panas menahan tangis. “Ahh … anakku, kenapa kamu tidak belajar mandiri bersama Ibu saja?” Begitu selalu protes di batin Ibu setiap kali mendengar alasan Kakak ingin sekolah di pesantren. Supaya banyak kegiatan positif, bu. Ga main HP terus, bu. Tetap rajin ibadah, bu. Tambah hafalan Al Qur’an, bu. Ya…ya… sungguh mulia, keinginanmu, nak. Tapi kenapa tidak terbersit untuk melakukan semuanya di dekat Ibu?
Jadilah perjalanan pulang Kuningan, Jawa Barat kali itu menuju Tangerang Selatan di Banten begitu panjang. Suhu dingin di dalam mobil yang bertambah-tambah oleh hujan deras tidak terasa oleh isak tangis Ibu. “Sudahlah, mulai ikhlas, Bu. Doakan semoga anak kita jadi orang shalih pembela agama”. Konsentrasi menyetir Ayah sepertinya mulai terganggu dengan sedu sedan Ibu.
Pelan-pelan ibu mengendalikan diri dan isaknya reda seiring mendung yang menyingkir memperlihatkan suasana malam yang mulai datang. Dibukanya kaca jendela mobil supaya udara alami kota Kuningan bisa lebih menyegarkan batinnya. Seolah baru terjaga dari tidur, ibu melihat sisi-sisi jalan saat warung-warung mulai terlihat sepi dari pengunjung. Temaram lampu dari balik jendela, menghantarkan bayangan siluet manusia bergerak kian ke mari. Ada yang duduk mengangguk-anggukan kepalanya, ada yang menggerakan tangannya sambil berbicara ngalor ngidul, dan ada yang sibuk keluar-masuk dapur membawa tumpukan piring dan masakan. Dalam udara yang dingin … berteman angin dan terang bulan. Seandainya orang-orang itu adalah keluarganya, tentu saat ini Ibu berada di tengah kehangatan ruang itu, menikmati suasana dan santapan lezat … tanpa perlu kesepian seperti ini. *).
---
Itu lah suasana kebatinan yang selalu membayangi Ibu setiap memikirkan harus mengantar Kakak tepat seminggu setelah lebaran, untuk mondok di Pesantren. Karena urusan mondok ini menyangkut ideologi, kemandirian, dan kenyamanan belajar, setelah mencari referensi dari beberapa kawannya yang terpercaya, Ibu, Ayah, dan Kakak sebenarnya sepakat memilih Ponpes Al Multazam di Kuningan, Jawa Barat. Jauh, memang.
Tapi, kakak yang sedang semangat-semangatnya beraktualisasi diri penasaran juga, apa nilai UN nya masih bisa bersaing di sekolah negeri. “Kenapa engga?,” fikir Ibu. “Tapi, pilih aja sekolah yang favorit sekalian, Kak. Supaya kalau pun akhirnya berubah fikiran, tidak sekedar meninggalkan kesempatan menuntut ilmu di pesantren”. Sebenarnya, Ibu tidak yakin Kakak diterima di SMA Negeri favorit. Walaupun katanya nilai UN se-Banten tahun ini turun, tapi peringkat lolos di kedua SMAN yang Ibu sodorkan tinggi dan nilai UN kakak jauh dari limit angka 30. Lihat saja yaa, nanti.
Di masa-masa menjelang akhir Ramadhan adalah saat-saat terberat Ibu untuk berusaha ikhlas melepas Kakak sekolah di pesantren. “Dia bukan milik mu. Kelak, dia juga akan meninggalkan kamu. Titipkan saja sama Tuhan. Toh, mendidiknya di rumah juga atas izin dan rahmat Tuhan”. Tapi, yang menambah berat juga soal biaya. Setelah dihitung-hitung, SPP sebulan, uang saku, biaya membeli penganan untuk Kakak, ongkos menjenguk plus biaya kuliah tante dan sekolah Adek yang di SD swasta, berputar-putar juga di kepala membuat Ibu pening. Ibu tahu, Allah selalu memberi jalan keluar tambahan rizki. Tapi, sepanjang perjalanan hidup mengadukan kesulitan ekonomi, solusi yang didapat Ibu sebagian besar melalui APBN. Yaa ampuun, Ibu jadi takut, jangan-jangan defisit APBN bertambah gara-gara meningkatkan kesejahteraan Ibu. Naif banget, tapi Ibu mikir defisit itu akan jadi tanggungan Kakak, Tante, dan Adek kalau mereka besar nanti.
Tahun lalu, hasil UN terendah yang diterima di SMAN 1 dan SMAN 4 masing-masing 33 dan 30. Tidak perlu lagi disebut nilai UN Kakak, cukup diberi petunjuk di atas karena menurut Ibu itu bukan hasil optimal. Dari semangatnya ikut pendalaman materi, bimbingan belajar tambahan, mengajari teman-temannya, belajar kelompok hampir tiap hari, semua atas kemauannya sendiri, menurut Ibu seharusnya minimal Kakak dapat 32. Sedikit di bawah Ara, siswi ranking 1 yang selalu ingin disainginya. “Maaf ya, Bu aku kurang sungguh-sungguh waktu UN. Kalau aku serius, mungkin nilai UN ku bisa bagus,” Kakak beralasan saat melihat wajah datar Ibu melihat SKHUN-nya.”Menurut Ibu, kamu terlalu tenang karena sudah mendapat sekolah”. Ibu menghela nafas, bukan seperti ini yang dia ingin lihat dari anaknya yang selama ini begitu semangat. Sepertinya, Kakak kendur di saat dia harus berlari kencang.
Dari pengalaman Ibu dan Ayah membesarkan Kakak dan Adek, mendidik anak tidak bisa lepas dari peran orang tua. Kakak dan Adek masih harus dituntun belajar membaca dan mengeja huruf-huruf hijaiyah di rumah, walaupun setiap Senin-Jumat sekolah hampir seharian. Mereka harus sedikit dibuat kapok karena sampai kelas 4 lalai dengan perkalian. Dibujuk tiap Isya dan Shubuh supaya mau berjamaah di mesjid. Bahkan, dibimbing dan ditemani dari seleksi masuk sekolah yang satu ke yang lain supaya belajar bagaimana rasanya gagal dan menginginkan keberhasilan. Sepertinya, Ayah dan Ibu sudah ‘jungkir balik’ bekerja sama menanamkan semua hal baik, kalau itu disebut kebaikan. Kalau kelak mereka faham agama, disiplin dalam hidup, bertanggung jawab dalam berkarya dan merasa bisa seperti itu karena sekolah di pesantren… ahh … hanya untuk materi sajakah Ayah dan Ibu akan dikenang karena bisa menyekolahkan Kakak di pesantren?
Tanggal 20 Juni pengumuman akhir hasil seleksi masuk SMAN se-Banten, dan Ibu tidak berminat melihatnya. Yang membuat Ibu terkejut, ketika di WAG SMP kakak, seorang Ibu meminta restu karena anaknya diterima di sekolah yang juga didaftar Kakak. Ibu penasaran… ehhh, ternyata Kakak diterima juga, walaupun masuk 50 besar dari bawah. Yang penting kan keterima dulu. Dan Ibu merasa, inilah keajaiban atas kegalauannya melepas Kakak. Ayah menyerahkan kepada ‘perasaan halus’ Ibu untuk memberi saran kepada Kakak, mana yang sebaiknya dipilih.
“Ibu dan Ayah minta waktu untuk mengumpulkan tabungan lagi, buat membiayai cita-cita kakak. Dokter hewan, Psikolog, atau Astronom itu bukan jurusan yang bisa diambil di sembarang Universitas. Kalau Kakak bersedia sekolah di SMA Negeri, uang yang seharusnya dikeluarkan bisa disimpan dulu sampai nanti saatnya Kakak kuliah”. Begitu mohon Ibu, yang akhirnya meluluhkan keinginan kuat Kakak sekolah di pesantren.
“Kalau kita tinggal di tempat yang terlindung dengan higienitas tinggi, Kak, kita tidak akan pernah bisa menguji daya tahan tubuh kita. Pesantren itu lingkungan pilihan, fasilitas serba ada karena kebanyakan orang tua mampu mendukung kelancaran proses belajar dengan materi. Pelajar-pelajar yang lurus akhlaknya, karena secara sadar ingin menggembleng diri. Ustaz-ustaz yang faham agama karena itulah yang diajarkannya setiap hari. Sekolah di SMA negeri, bisa membuat kita waspada saat kita harus pandai memilih teman, belajar dengan fasilitas seadanya karena pelajarnya dari lingkungan yang minim sumber daya. Di situ biasanya daya tahan kita diuji. Giat-giatlah, Kak.” **). Ibu mencoba memberi tips kepada Kakak menjelang daftar ulang di SMA Negeri, yang itu berarti dia harus meninggalkan masa orientasi santri.
Kakak sudah legowo tidak jadi sekolah di Pesantren, itu katanya, itu yang terlihat. Dengan penuh kesigapan, setiap hari sekolah, dia disiplin bangun sebelum subuh, sarapan dan langsung mandi setelah subuh, supaya jam 6 tepat bisa berangkat sekolah. Dia jadi seksi kebersihan, yang katanya, tugasnya mengawasi petugas piket setiap hari. Satu kejutan lagi, hasil tes penempatan kelas ternyata sudah keluar dan kakak masuk kelas IPA-3, dari 5 kelas IPA. “Ya, iyalah Bu… aku sungguh-sungguh. Kalau aku merasa sudah kesulitan belajar, aku kan sholat tahajud juga sama puasa,” begitu katanya ketika Ibu terlihat heran dengan ‘keberhasilan’ Kakak menembus kelas IPA.
Hidup masih berlanjut dan panjang. Ibu dan Ayah hanya bisa terus menjadi teman bicara, memberi sarana, dan yang terpenting berdoa. Menitipkan Kakak, Tante, dan Adek sama Tuhan. Karena jauh ataupun dekat, Kakak, Tante, Adek, Ibu dan Ayah, sesungguhnya milik Tuhan.🌾
*) terinspirasi tantangan meneruskan paragraf mba Embun.
**) terinspirasi obrolan sarapan pagi dengan mba Embun
“In syaa Allah, aku akan mulai mandiri, Bu.” Mantap dan ceria sekali dia berucap sebelum mencium tangan Ibu. Sementara, dada Ibu begitu sesak dan kelopak matanya mulai panas menahan tangis. “Ahh … anakku, kenapa kamu tidak belajar mandiri bersama Ibu saja?” Begitu selalu protes di batin Ibu setiap kali mendengar alasan Kakak ingin sekolah di pesantren. Supaya banyak kegiatan positif, bu. Ga main HP terus, bu. Tetap rajin ibadah, bu. Tambah hafalan Al Qur’an, bu. Ya…ya… sungguh mulia, keinginanmu, nak. Tapi kenapa tidak terbersit untuk melakukan semuanya di dekat Ibu?
Jadilah perjalanan pulang Kuningan, Jawa Barat kali itu menuju Tangerang Selatan di Banten begitu panjang. Suhu dingin di dalam mobil yang bertambah-tambah oleh hujan deras tidak terasa oleh isak tangis Ibu. “Sudahlah, mulai ikhlas, Bu. Doakan semoga anak kita jadi orang shalih pembela agama”. Konsentrasi menyetir Ayah sepertinya mulai terganggu dengan sedu sedan Ibu.
Pelan-pelan ibu mengendalikan diri dan isaknya reda seiring mendung yang menyingkir memperlihatkan suasana malam yang mulai datang. Dibukanya kaca jendela mobil supaya udara alami kota Kuningan bisa lebih menyegarkan batinnya. Seolah baru terjaga dari tidur, ibu melihat sisi-sisi jalan saat warung-warung mulai terlihat sepi dari pengunjung. Temaram lampu dari balik jendela, menghantarkan bayangan siluet manusia bergerak kian ke mari. Ada yang duduk mengangguk-anggukan kepalanya, ada yang menggerakan tangannya sambil berbicara ngalor ngidul, dan ada yang sibuk keluar-masuk dapur membawa tumpukan piring dan masakan. Dalam udara yang dingin … berteman angin dan terang bulan. Seandainya orang-orang itu adalah keluarganya, tentu saat ini Ibu berada di tengah kehangatan ruang itu, menikmati suasana dan santapan lezat … tanpa perlu kesepian seperti ini. *).
---
Itu lah suasana kebatinan yang selalu membayangi Ibu setiap memikirkan harus mengantar Kakak tepat seminggu setelah lebaran, untuk mondok di Pesantren. Karena urusan mondok ini menyangkut ideologi, kemandirian, dan kenyamanan belajar, setelah mencari referensi dari beberapa kawannya yang terpercaya, Ibu, Ayah, dan Kakak sebenarnya sepakat memilih Ponpes Al Multazam di Kuningan, Jawa Barat. Jauh, memang.
Tapi, kakak yang sedang semangat-semangatnya beraktualisasi diri penasaran juga, apa nilai UN nya masih bisa bersaing di sekolah negeri. “Kenapa engga?,” fikir Ibu. “Tapi, pilih aja sekolah yang favorit sekalian, Kak. Supaya kalau pun akhirnya berubah fikiran, tidak sekedar meninggalkan kesempatan menuntut ilmu di pesantren”. Sebenarnya, Ibu tidak yakin Kakak diterima di SMA Negeri favorit. Walaupun katanya nilai UN se-Banten tahun ini turun, tapi peringkat lolos di kedua SMAN yang Ibu sodorkan tinggi dan nilai UN kakak jauh dari limit angka 30. Lihat saja yaa, nanti.
Di masa-masa menjelang akhir Ramadhan adalah saat-saat terberat Ibu untuk berusaha ikhlas melepas Kakak sekolah di pesantren. “Dia bukan milik mu. Kelak, dia juga akan meninggalkan kamu. Titipkan saja sama Tuhan. Toh, mendidiknya di rumah juga atas izin dan rahmat Tuhan”. Tapi, yang menambah berat juga soal biaya. Setelah dihitung-hitung, SPP sebulan, uang saku, biaya membeli penganan untuk Kakak, ongkos menjenguk plus biaya kuliah tante dan sekolah Adek yang di SD swasta, berputar-putar juga di kepala membuat Ibu pening. Ibu tahu, Allah selalu memberi jalan keluar tambahan rizki. Tapi, sepanjang perjalanan hidup mengadukan kesulitan ekonomi, solusi yang didapat Ibu sebagian besar melalui APBN. Yaa ampuun, Ibu jadi takut, jangan-jangan defisit APBN bertambah gara-gara meningkatkan kesejahteraan Ibu. Naif banget, tapi Ibu mikir defisit itu akan jadi tanggungan Kakak, Tante, dan Adek kalau mereka besar nanti.
Tahun lalu, hasil UN terendah yang diterima di SMAN 1 dan SMAN 4 masing-masing 33 dan 30. Tidak perlu lagi disebut nilai UN Kakak, cukup diberi petunjuk di atas karena menurut Ibu itu bukan hasil optimal. Dari semangatnya ikut pendalaman materi, bimbingan belajar tambahan, mengajari teman-temannya, belajar kelompok hampir tiap hari, semua atas kemauannya sendiri, menurut Ibu seharusnya minimal Kakak dapat 32. Sedikit di bawah Ara, siswi ranking 1 yang selalu ingin disainginya. “Maaf ya, Bu aku kurang sungguh-sungguh waktu UN. Kalau aku serius, mungkin nilai UN ku bisa bagus,” Kakak beralasan saat melihat wajah datar Ibu melihat SKHUN-nya.”Menurut Ibu, kamu terlalu tenang karena sudah mendapat sekolah”. Ibu menghela nafas, bukan seperti ini yang dia ingin lihat dari anaknya yang selama ini begitu semangat. Sepertinya, Kakak kendur di saat dia harus berlari kencang.
Dari pengalaman Ibu dan Ayah membesarkan Kakak dan Adek, mendidik anak tidak bisa lepas dari peran orang tua. Kakak dan Adek masih harus dituntun belajar membaca dan mengeja huruf-huruf hijaiyah di rumah, walaupun setiap Senin-Jumat sekolah hampir seharian. Mereka harus sedikit dibuat kapok karena sampai kelas 4 lalai dengan perkalian. Dibujuk tiap Isya dan Shubuh supaya mau berjamaah di mesjid. Bahkan, dibimbing dan ditemani dari seleksi masuk sekolah yang satu ke yang lain supaya belajar bagaimana rasanya gagal dan menginginkan keberhasilan. Sepertinya, Ayah dan Ibu sudah ‘jungkir balik’ bekerja sama menanamkan semua hal baik, kalau itu disebut kebaikan. Kalau kelak mereka faham agama, disiplin dalam hidup, bertanggung jawab dalam berkarya dan merasa bisa seperti itu karena sekolah di pesantren… ahh … hanya untuk materi sajakah Ayah dan Ibu akan dikenang karena bisa menyekolahkan Kakak di pesantren?
Tanggal 20 Juni pengumuman akhir hasil seleksi masuk SMAN se-Banten, dan Ibu tidak berminat melihatnya. Yang membuat Ibu terkejut, ketika di WAG SMP kakak, seorang Ibu meminta restu karena anaknya diterima di sekolah yang juga didaftar Kakak. Ibu penasaran… ehhh, ternyata Kakak diterima juga, walaupun masuk 50 besar dari bawah. Yang penting kan keterima dulu. Dan Ibu merasa, inilah keajaiban atas kegalauannya melepas Kakak. Ayah menyerahkan kepada ‘perasaan halus’ Ibu untuk memberi saran kepada Kakak, mana yang sebaiknya dipilih.
“Ibu dan Ayah minta waktu untuk mengumpulkan tabungan lagi, buat membiayai cita-cita kakak. Dokter hewan, Psikolog, atau Astronom itu bukan jurusan yang bisa diambil di sembarang Universitas. Kalau Kakak bersedia sekolah di SMA Negeri, uang yang seharusnya dikeluarkan bisa disimpan dulu sampai nanti saatnya Kakak kuliah”. Begitu mohon Ibu, yang akhirnya meluluhkan keinginan kuat Kakak sekolah di pesantren.
“Kalau kita tinggal di tempat yang terlindung dengan higienitas tinggi, Kak, kita tidak akan pernah bisa menguji daya tahan tubuh kita. Pesantren itu lingkungan pilihan, fasilitas serba ada karena kebanyakan orang tua mampu mendukung kelancaran proses belajar dengan materi. Pelajar-pelajar yang lurus akhlaknya, karena secara sadar ingin menggembleng diri. Ustaz-ustaz yang faham agama karena itulah yang diajarkannya setiap hari. Sekolah di SMA negeri, bisa membuat kita waspada saat kita harus pandai memilih teman, belajar dengan fasilitas seadanya karena pelajarnya dari lingkungan yang minim sumber daya. Di situ biasanya daya tahan kita diuji. Giat-giatlah, Kak.” **). Ibu mencoba memberi tips kepada Kakak menjelang daftar ulang di SMA Negeri, yang itu berarti dia harus meninggalkan masa orientasi santri.
Kakak sudah legowo tidak jadi sekolah di Pesantren, itu katanya, itu yang terlihat. Dengan penuh kesigapan, setiap hari sekolah, dia disiplin bangun sebelum subuh, sarapan dan langsung mandi setelah subuh, supaya jam 6 tepat bisa berangkat sekolah. Dia jadi seksi kebersihan, yang katanya, tugasnya mengawasi petugas piket setiap hari. Satu kejutan lagi, hasil tes penempatan kelas ternyata sudah keluar dan kakak masuk kelas IPA-3, dari 5 kelas IPA. “Ya, iyalah Bu… aku sungguh-sungguh. Kalau aku merasa sudah kesulitan belajar, aku kan sholat tahajud juga sama puasa,” begitu katanya ketika Ibu terlihat heran dengan ‘keberhasilan’ Kakak menembus kelas IPA.
Hidup masih berlanjut dan panjang. Ibu dan Ayah hanya bisa terus menjadi teman bicara, memberi sarana, dan yang terpenting berdoa. Menitipkan Kakak, Tante, dan Adek sama Tuhan. Karena jauh ataupun dekat, Kakak, Tante, Adek, Ibu dan Ayah, sesungguhnya milik Tuhan.🌾
*) terinspirasi tantangan meneruskan paragraf mba Embun.
**) terinspirasi obrolan sarapan pagi dengan mba Embun