Dinginnya suhu ruangan membuat jemariku terasa beku. Sebagian rekan kantor sudah pulang sejak pukul lima sore tadi.
Aku menatap jam tangan yang angkanya menunjukkan pukul tujuh malam. Belum ada tanda-tanda kalau nota dinas yang beberapa menit lalu masuk ke ruangan Direktur disetujui atau mendapat koreksi.
15 menit berlalu, tiba-tiba suara seseorang membuyarkan lamunanku.
"Mas, ada catatan dari Ibu!", katanya sambil menyerahkan berkas nota dinas.
"Ok, terimakasih ya", jawabku sambil mengamati tulisan dari catatan tersebut.
"Oh...hanya diminta menambahkan prosentase realisasi terhadap pagu pada lampiran nota dinas", kataku dalam hati.
Beberapa menit kemudian lampiran nota dinas yang mendapat catatan Direktur selesai dikerjakan, dicetak kembali dan langsung aku serahkan kepada Sekretaris Direktur.
Setelah memastikan tidak ada lagi pekerjaan yang harus diselesaikan segera, aku merapihkan meja kerja, memakai jaket, mengambil tas lalu izin kepada Kasi untuk pamit pulang.
Bapak ojek yang aku pesan jasanya lewat aplikasi ojek online sewaktu aku didalam lift sudah menunggu di gerbang belakang kantor.
"Malam, Pak, mohon maaf kalau Bapak menunggu lama", sapaku sambil tersenyum.
"Oh... gak apa, Pak, saya baru tiba semenit yang lalu kok". Jawab si Bapak ojek. "Mau pakai helm?", katanya kemudian.
"Oh... ya, terimakasih Pak", jawabku sambil mengambil helm kemudian memakainya.
Beberapa menit kemudian, motor yang aku tumpangi melaju menuju stasiun Tanah Abang.
Waktu tempuh dari kantor menuju stasiun Tanah abang malam itu kurang dari dua puluh menit dengan kondisi lalulintas yang sangat lancar.
Kereta Komuter jurusan Serpong yang akan aku naiki sudah tersedia di peron jalur 6, menunggu jadwal keberangkatan. Aku masuk kedalam gerbong yang posisinya tidak jauh dari eskalator, lalu memilih berdiri di ruang tengah gerbong agar tidak mengganggu penumpang lain yang hendak masuk.
Dalam diam, pikiranku melayang mengingat pesan yang disampaikan anak-anakku, Malika dan Satrya. Pagi hari sebelum aku berangkat ke kantor, mereka menyampaikan keinginannya untuk bisa makan malam bareng ayahnya.
Beberapa menit kemudian Kereta Komuter berangkat meninggalkan stasiun Tanah Abang sesuai jadwal keberangkatan.
Aku mengambil handphone yang tersimpan disaku baju dan mengetik sebuah pesan untuk dikirim ke nomor isteri yang isinya memberitahu bahwa aku sedang dalam perjalanan pulang, serta menanyakan kabar anak-anak.
Beberapa detik kemudian pesan yang aku kirim mendapat balasan. Isteriku memberitahu bahwa kakak dan abang belum tidur, sedangkan adiknya, Shaqueena, sudah tidur sebelum 'Isya.
"Oh... syukurlah, semoga lancar perjalanannya, kakak sama abang belum bobo, adek yang sudah bobo dari sebelum "Isya. Oh iya, kakak sama abang nungguin ayah tuh, katanya mau makan bareng sama ayah. Saking pengennya, sejak pulang sekolah jam dua siang tadi si abang belum mau makan, tumben banget, padahal anaknya gampang lapar hehe...", demikian isi pesan singkat isteriku.
Senyumku mengembang setelah membaca pesannya. Dalam hati berdo'a semoga bisa segera sampai di rumah secepatnya.
Tiga puluh menit kemudian Kereta Komuter yang aku naiki tiba di stasiun tujuan, Stasiun Sudimara. Segera aku keluar gerbong lalu bergabung dengan antrian penumpang, keluar stasiun.
Beberapa puluh meter dari gerbang stasiun, Bapak ojek online sudah menunggu. Menyapaku, menawarkan helm, lalu melesat meninggalkan pangkalan ojek.
Sesampainya di halaman rumah, aku melafadzkan do'a, lalu mengucapkan salam.
Kuletakan sepatu di rak penyimpanan lalu membuka pintu dengan penuh semangat karena membayangkan akan mendapat sambutan dari anak-anak. Namun, ketika pintu terbuka lebar, aku melihat kakak dan abang sudah tertidur pulas di atas bed cover yang membentang di ruang utama.
"Bunda tadi nemenin anak-anak nonton tv, eh... tiba-tiba Shaqueena nangis, jadinya Bunda masuk kamar. Pas Bunda keluar, kakak sama abang sudah pulas!", kata isteriku sambil tersenyum.
Ada perasaan sedih bercampur dengan rasa bersalah karena tidak bisa memenuhi keinginan anak-anak untuk makan malam bersama ayah mereka. Meski demikian, ada pula rasa bahagia ketika menatap wajah anak-anak yang begitu polos tanpa dosa.
Sambil mencium kening keduanya, permohonan maaf terucap dan sebait do'a dipanjatkan, semoga Allah Swt menyayangi anak-anakku melebihi kasih sayangku kepada mereka.
Amiin...
Aku menatap jam tangan yang angkanya menunjukkan pukul tujuh malam. Belum ada tanda-tanda kalau nota dinas yang beberapa menit lalu masuk ke ruangan Direktur disetujui atau mendapat koreksi.
15 menit berlalu, tiba-tiba suara seseorang membuyarkan lamunanku.
"Mas, ada catatan dari Ibu!", katanya sambil menyerahkan berkas nota dinas.
"Ok, terimakasih ya", jawabku sambil mengamati tulisan dari catatan tersebut.
"Oh...hanya diminta menambahkan prosentase realisasi terhadap pagu pada lampiran nota dinas", kataku dalam hati.
Beberapa menit kemudian lampiran nota dinas yang mendapat catatan Direktur selesai dikerjakan, dicetak kembali dan langsung aku serahkan kepada Sekretaris Direktur.
Setelah memastikan tidak ada lagi pekerjaan yang harus diselesaikan segera, aku merapihkan meja kerja, memakai jaket, mengambil tas lalu izin kepada Kasi untuk pamit pulang.
Bapak ojek yang aku pesan jasanya lewat aplikasi ojek online sewaktu aku didalam lift sudah menunggu di gerbang belakang kantor.
"Malam, Pak, mohon maaf kalau Bapak menunggu lama", sapaku sambil tersenyum.
"Oh... gak apa, Pak, saya baru tiba semenit yang lalu kok". Jawab si Bapak ojek. "Mau pakai helm?", katanya kemudian.
"Oh... ya, terimakasih Pak", jawabku sambil mengambil helm kemudian memakainya.
Beberapa menit kemudian, motor yang aku tumpangi melaju menuju stasiun Tanah Abang.
Waktu tempuh dari kantor menuju stasiun Tanah abang malam itu kurang dari dua puluh menit dengan kondisi lalulintas yang sangat lancar.
Kereta Komuter jurusan Serpong yang akan aku naiki sudah tersedia di peron jalur 6, menunggu jadwal keberangkatan. Aku masuk kedalam gerbong yang posisinya tidak jauh dari eskalator, lalu memilih berdiri di ruang tengah gerbong agar tidak mengganggu penumpang lain yang hendak masuk.
Dalam diam, pikiranku melayang mengingat pesan yang disampaikan anak-anakku, Malika dan Satrya. Pagi hari sebelum aku berangkat ke kantor, mereka menyampaikan keinginannya untuk bisa makan malam bareng ayahnya.
Beberapa menit kemudian Kereta Komuter berangkat meninggalkan stasiun Tanah Abang sesuai jadwal keberangkatan.
Aku mengambil handphone yang tersimpan disaku baju dan mengetik sebuah pesan untuk dikirim ke nomor isteri yang isinya memberitahu bahwa aku sedang dalam perjalanan pulang, serta menanyakan kabar anak-anak.
Beberapa detik kemudian pesan yang aku kirim mendapat balasan. Isteriku memberitahu bahwa kakak dan abang belum tidur, sedangkan adiknya, Shaqueena, sudah tidur sebelum 'Isya.
"Oh... syukurlah, semoga lancar perjalanannya, kakak sama abang belum bobo, adek yang sudah bobo dari sebelum "Isya. Oh iya, kakak sama abang nungguin ayah tuh, katanya mau makan bareng sama ayah. Saking pengennya, sejak pulang sekolah jam dua siang tadi si abang belum mau makan, tumben banget, padahal anaknya gampang lapar hehe...", demikian isi pesan singkat isteriku.
Senyumku mengembang setelah membaca pesannya. Dalam hati berdo'a semoga bisa segera sampai di rumah secepatnya.
Tiga puluh menit kemudian Kereta Komuter yang aku naiki tiba di stasiun tujuan, Stasiun Sudimara. Segera aku keluar gerbong lalu bergabung dengan antrian penumpang, keluar stasiun.
Beberapa puluh meter dari gerbang stasiun, Bapak ojek online sudah menunggu. Menyapaku, menawarkan helm, lalu melesat meninggalkan pangkalan ojek.
Sesampainya di halaman rumah, aku melafadzkan do'a, lalu mengucapkan salam.
Kuletakan sepatu di rak penyimpanan lalu membuka pintu dengan penuh semangat karena membayangkan akan mendapat sambutan dari anak-anak. Namun, ketika pintu terbuka lebar, aku melihat kakak dan abang sudah tertidur pulas di atas bed cover yang membentang di ruang utama.
"Bunda tadi nemenin anak-anak nonton tv, eh... tiba-tiba Shaqueena nangis, jadinya Bunda masuk kamar. Pas Bunda keluar, kakak sama abang sudah pulas!", kata isteriku sambil tersenyum.
Ada perasaan sedih bercampur dengan rasa bersalah karena tidak bisa memenuhi keinginan anak-anak untuk makan malam bersama ayah mereka. Meski demikian, ada pula rasa bahagia ketika menatap wajah anak-anak yang begitu polos tanpa dosa.
Sambil mencium kening keduanya, permohonan maaf terucap dan sebait do'a dipanjatkan, semoga Allah Swt menyayangi anak-anakku melebihi kasih sayangku kepada mereka.
Amiin...