Suatu siang, ketika sedang nongkrong di warung kopi, gue iseng-iseng instagram-an. Tiba-tiba Samuel a.k.a Sam, yang sedang duduk di sebelah gue nyeletuk "sedekah like bro?". Gue perlu sejenak loading sebelum memahami makna celetukannya, sebelum akhirnya mengangguk dan menjawab singkat "he eh".
Istilah sedekah like sebenarnya berawal dari diskusi gue dengan Sam beberapa waktu lalu. Saat itu kami mendiskusikan tentang fenomena media sosial (medsos) sekarang ini. Betapa interaksi off-line makin tergusur oleh interaksi on-line. Kebutuhan akan interaksi on-line ini kadang-kadang "tidak masuk akal". Bagaimana tidak? seringkali kita melihat atau bahkan kita melakukan sendiri, sekelompok teman yang sepakat untuk bertemu di suatu tempat kemudian malah menghabiskan waktu pertemuan itu sibuk dengan gawai masing-masing. Ironis.
Fenomena lainnya adalah betapa eksistensi di medsos buat beberapa orang sudah menjadi suatu kebutuhan. Mereka butuh untuk selalu update status, posting foto atau media apapun yang dapat digunakan di medsos tersebut. Beberapa bahkan memasang "target" like atau comment atas posting-annya.
Sudah banyak artikel psikologi atau kesehatan yang membahas soal kecanduan medsos ini. Umumnya menyatakan bahwa orang-orang yang kecanduan medsos memiliki kecenderungan gangguan psikologis seperti rendah diri, kesepian, sampai terganggu jiwanya. Tidak sedikit pula berita tentang efek kecanduan medsos yang berakhir dengan kematian akibat depresi atau bunuh diri.
Awal-awal kenal medsos, gue pun sempat kecanduan. Ibaratnya, gue makan indomie pun seisi dunia harus tahu. Susah, senang, kesepian, emosi dan seabrek luapan perasaan menjadi penting untuk menjawab pertanyaan "what is in your mind?". Candu itu datang dari apresiasi berupa like dan comment. Ada adrenalin tersendiri ketika sebuah postingan mampu menuai banyak tanggapan. Bungah karena berhasil menarik perhatian banyak orang. Bangga karena punya friend-list yang panjang. Layaknya hal duniawi yang melenakan, medsos pun tak terlepas dari campur tangan setan yang meniupkan rasa iri dan dengki bagi penggunanya. Rasa iri ketika ada postingan orang lain yang lebih bagus, update status yang lebih menarik, jumlah like dan comment yang lebih banyak. Friksi pun tak dapat dihindari, dari sekedar saling sindir sampai ke "perang terbuka".
Ketika akhirnya gue memutuskan untuk tidak terlalu aktif ber-medsos ria, karena belum bisa untuk totally leave it, gue berusaha lebih bijak dan mencoba memahami candu yang masih melekat ke banyak orang. Ketika melihat sebuah postingan yang menurut gue "receh banget" dan gak penting, gue mencoba melihat dari sudut pandang lain, berpikir dengan cara lain. "Receh" buat gue toh belum tentu "receh" juga buat orang tersebut. Gak penting buat gue juga tidak berarti gak penting buat orang lain. Gue pun mengambil sikap yang sama terhadap postingan gue sendiri, meskipun terkadang masih "bablas" juga posting hal-hal yang bahkan menurut gue sendiri gak penting hahaha.
Kembali ke diskusi gue dengan Sam, gue bilang ke Sam mengenai pemahaman gue terhadap kondisi orang-orang yang masih terkena candu medsos. Menurut gue, dengan memberikan mereka sekedar like atau comnment basa basi, paling tidak gue telah memberikan apa yang mungkin orang itu sangat inginkan: perhatian. Kita gak pernah tahu, mungkin saja like atau comment gue di postingan pertama seseorang di pagi hari bisa membawa kebahagiaan dan keceriaan orang itu sepanjang sisa hari. It costs me nothing, but it might help them a lot. Negatifnya, mungkin saja kebiasaan "sedekah like" ini makin menjerumuskan orang tersebut ke dalam candu medsos, namun itu mungkin tetap lebih baik daripada membiarkan orang tersebut depresi dan melakukan tindakan-tindakan yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain. Paling tidak masih terselip sedikit kebahagiaan (meskipun semu) di dalam candu medsos, sambil berharap agar candu tersebut dapat dibuang minimal dikurangi kadarnya. "Sedekah like" ini mungkin juga konsekuensi dari etika ber-medsos, kecuali memang kita mau meninggalkan medsos selamanya.
Awal-awal kenal medsos, gue pun sempat kecanduan. Ibaratnya, gue makan indomie pun seisi dunia harus tahu. Susah, senang, kesepian, emosi dan seabrek luapan perasaan menjadi penting untuk menjawab pertanyaan "what is in your mind?". Candu itu datang dari apresiasi berupa like dan comment. Ada adrenalin tersendiri ketika sebuah postingan mampu menuai banyak tanggapan. Bungah karena berhasil menarik perhatian banyak orang. Bangga karena punya friend-list yang panjang. Layaknya hal duniawi yang melenakan, medsos pun tak terlepas dari campur tangan setan yang meniupkan rasa iri dan dengki bagi penggunanya. Rasa iri ketika ada postingan orang lain yang lebih bagus, update status yang lebih menarik, jumlah like dan comment yang lebih banyak. Friksi pun tak dapat dihindari, dari sekedar saling sindir sampai ke "perang terbuka".
Ketika akhirnya gue memutuskan untuk tidak terlalu aktif ber-medsos ria, karena belum bisa untuk totally leave it, gue berusaha lebih bijak dan mencoba memahami candu yang masih melekat ke banyak orang. Ketika melihat sebuah postingan yang menurut gue "receh banget" dan gak penting, gue mencoba melihat dari sudut pandang lain, berpikir dengan cara lain. "Receh" buat gue toh belum tentu "receh" juga buat orang tersebut. Gak penting buat gue juga tidak berarti gak penting buat orang lain. Gue pun mengambil sikap yang sama terhadap postingan gue sendiri, meskipun terkadang masih "bablas" juga posting hal-hal yang bahkan menurut gue sendiri gak penting hahaha.
Kembali ke diskusi gue dengan Sam, gue bilang ke Sam mengenai pemahaman gue terhadap kondisi orang-orang yang masih terkena candu medsos. Menurut gue, dengan memberikan mereka sekedar like atau comnment basa basi, paling tidak gue telah memberikan apa yang mungkin orang itu sangat inginkan: perhatian. Kita gak pernah tahu, mungkin saja like atau comment gue di postingan pertama seseorang di pagi hari bisa membawa kebahagiaan dan keceriaan orang itu sepanjang sisa hari. It costs me nothing, but it might help them a lot. Negatifnya, mungkin saja kebiasaan "sedekah like" ini makin menjerumuskan orang tersebut ke dalam candu medsos, namun itu mungkin tetap lebih baik daripada membiarkan orang tersebut depresi dan melakukan tindakan-tindakan yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain. Paling tidak masih terselip sedikit kebahagiaan (meskipun semu) di dalam candu medsos, sambil berharap agar candu tersebut dapat dibuang minimal dikurangi kadarnya. "Sedekah like" ini mungkin juga konsekuensi dari etika ber-medsos, kecuali memang kita mau meninggalkan medsos selamanya.
Sedekah "like" bila diberikan dengan tulus bisa mewujudkan kebutuhan manusia atas apresiasi, hanya saja bila keramahan menjadi sesuatu yang artifisial maka interaksi yang ada menjadi semu dan kehilangan makna.
BalasHapus