Tertegun saya melihat para pejuang gondola gedung tinggi ini. Apakah mereka memang orang-orang yang terlatih untuk menjadi orang yang punya nyali? Saya pikir tidak. Apakah mereka sadar akan bahaya yang siap merengut nyawanya itu? Iya dan saya sangat yakin bahwa mereka melakukan dengan penuh pertimbangan. Apakah ada pilihan lain? Atau memang hobi? Saya belum survei, tetapi ketertegunan saya diawali dari kubikel tempat saya bekerja. Awalnya saya mungkin abai terhadap aktifitas di luar bangunan. Namun kok, setelah beberapa kali terusik dengan aktifitas mereka di luar, jadi saya ingin membuat kisah pekerjaan naik gondola gedung tinggi. Pekerjaan itu menjadi salah satu pilihan pekerjaan bagi orang tertentu. Memang saya belum melakukan proses wawancara yang cukup intens dengan para “Pejuang Gondola Gedung Tinggi” ini. Pendapat ini hanya merupakan buah pikiran jika seandainya mereka memiliki pilihan atau saya bertuker tempat dengan mereka dan mereka yang duduk di sisi dalam gedung Soetikno Slamet ini.
Pikiran ini cukup mengelitik karena ada pekerjaan perawatan gedung kantor. Dalam rangka perawatan itu, banyak perbaikan dan pengecatan yang harus dilakukan tidak terkecuali sisi luar dari gedung itu yang memang menjadi target perawatan. Jika harus menggunakan bamboo yang saling diikatkan, maka paling tidak gedung itu tingginya maksimal 5 tingkat. Jika lebih biasanya memang sudah dibuatkan jalur gondola tersendiri sebagai bagian dari infrastruktur bangunan atau gedung tinggi. Daripada harus menggunakan bambu lagi, maka gondola digunakan secara maksimal agar pekerjaan perawatan gedung dapat selesai sesuai dengan kontrak.
Kondisi gondola secara umum masih cukup baik dengan cantolan kabel baja dan cukup mencengkram pada roda gondola berkenaan. Sementara para pekerja dengan asyiknya tetap bekerja dengan tali pengaman yang sudah diikatkan bukan ke gondola tetapi ke tali pengaman yang tersambung langsung dari atas. Saya sempat mengamati secara kasat mata, karena pengamatan saya berasal dari dalam gedung bukan ikut bersama dengan mereka. Hasil pengamatannya adalah bahwa kapasitas gondola sepertinya hanya mampu diisi hanya dengan 2 orang dengan berat kira-kira 60 kg. Jika bebannya lebih dari itu, saya gak tau apa yang terjadi. Tapi saya gak mau memikirkannya, tapi saya berdoa semoga tidak terjadi apa-apa terhadap para pekerja itu. Mereka berada di gondola itu juga bukan karena hobi dan kemauan mereka. Saya sempat sedikit mendengar beberapa percakapan yang mereka ucapkan. Inti dari percakapannya adalah mereka lakukan ini karena gak ada pilihan lain selain pekerjaan ini. Mereka juga terkadang rindu dengan kampung halaman dan keluarga. Jika ada keahlian yang bisa mereka lakukan dan kerjakan, mereka tidak akan mengambil pekerjaan ini.
Mendengar percakapan mereka yang santai dan penuh makna cukup menampar saya sebagai pegawai negeri sipil yang hanya bisa duduk dan mengamati mereka dari dalam gedung. Mereka pun tidak bereaksi ketika dari sisi dalam ada yang melambaikan tangan ke mereka dan mereka sepertinya fokus untuk tetap mengerjakan agar cepat selesai. Karena mereka tahu bahwa waktunya sangat berharga dan jika semakin lama diatas dan pekerjaan tidak selesai maka nyawa adalah taruhannya. Saya cukup malu dan berpikir kembali, apakah ini sebuah sketsa hidup dalam setiap diri seseorang? Setiap diri kita ketika sedang tidak semangat dan banyak malas bekerja, apalagi kondisi tempat pekerjaan sangat nyaman dan bersih dan berada di dalam gedung, mungkin sekali-kali perlu berkaca kepada para pejuang gondola ini. Kalau ruangan agak panas kita dengan mudahnya protes. Bila ruangan terlalu dingin dengan mudahnya kita mengerutu “agak dingin ya ruangan.”. Itulah kita sebagai manusia. Coba seandainya kita berada di posisi mereka? Bisa komplen? Bisa menolak? Bisa protes? Bisa malas? Tanyakanlah kepada diri sendiri. Bagaimana nanti tiba-tiba kita terbangun dari tidur dan harus bekerja sebagai pejuang gondola itu? Saya yakin akan ada banyak pergulatan dalam diri kita.
Iya, saya menyebutnya mereka sebagai pejuang. Karena banyak yang mereka pertaruhkan dalam melakukan pekerjaan itu terutama nyawa. Waktu untuk keluarga, istri, anak dan berbicara dengan rekan kerja. Rekan kerja? Gak ada rekan kerja. Kalau rekan kerja di gondola hanya berdua. Kalau rekannya sakit, maka bekerja sendiri. Pantaslah kalau saya sebut mereka pejuang dibanding saya yang bekerja masih banyak malas, protes, mengobrolnya dan lain-lain. Sang pejuang gondola telah mengingatkan saya untuk tetap semangat dan bersyukur bahwa semua itu sudah ada suratan dan takdirnya. Maka nikmati momen yang telah diberikan dengan hal-hal yang positif tanpa harus banyak komplen dan bermalas-malasan. Selamat berkerja para pejuang gondola gedung tinggi, kami doakan yang terbaik untuk kalian. Doakan kami juga untuk selalu tetap semangat bekerja dengan hal-hal yang positif. Aamiin
Cerita ini dapat juga dilihat pada link berikut :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar