Mungkin aku terlambat ... meja banquet sudah mulai kosong. Tinggal satu pojok dessert berupa 'tiang' dari gelas-gelas puding.
Aku lapar, .... dan lelah. Dan tidak percaya diri. Dan entahlah. Mengapa aku di sini?
Empat orang kedutaan Belanda yang tadi makan di satu meja bersamaku sudah beranjak 5 menit yang lalu. Sejujurnya mereka juga tidak kenal betul satu sama lain. Sekadar menghapus kecanggungan, mengobrol tentang apa saja yang bisa diobrolkan, sambil menghindari topik sensitif seperti politik dan agama. Siapa sangka di saat seperti ini topik yang 'garing' seperti sejarah bisa jadi menarik dan membuat orang tertawa? Aku mulai terlatih untuk melontarkan komentar yang sekiranya sesuai dengan lawan bicara yang ada pada saat yang berbeda. Seperti tadi, ketika di kananku ada saudara setanah air Indonesia, di kiriku ada orang Belanda, sementara kaos polo shirt hitamku bertulisan bahasa Swedia ... otakku mulai berputar mencari bahan percakapan yang mungkin menarik minat tetangga makan siang hari ini. Kukatakan bahwa ini adalah takdir bila kita bisa duduk satu meja ... karena masa lalu telah menghubungkan kita semua di sini.
Kuceritakan kepada mereka rasa yang timbul sewaktu berjalan menyusuri kanal sepanjang zona barat Skandinavia ... suatu de ja vu bagai berjalan di wilayah Kota Tua, Jakarta. Suatu rasa yang kemudian menemukan jawabannya di suatu museum sejarah, ketika terungkap bahwa arsitek di kota tersebut memang membangunnya sesuai cetak biru Batavia, Jakarta tempo dulu. Dan sang arsitek Belanda ini memang baru saja merampungkan proyek Batavia sewaktu diminta membangun kanal sepanjang Göta Alv ... area yang kini lebih dikenal sebagai tempat lahirnya Volvo, kebanggaan Swedia.
Dan apakah takdir serupa ini pula yang kini membuat seseorang duduk di kursi kosong di mejaku ini. Tadinya, aku kira suasana garing akan berlanjut ketika rombongan Belanda telah beranjak permisi, meninggalkanku dengan 3 gelas puding kosong. Jangan katakan aku kemaruk, karena hanya ini yang tersisa dari semua bakul nasi kosong dan mangkuk-mangkuk sayur serta jejeran wadah stainless steel porsi kondangan ... yang melompong meminta diangkut ke bak cucian.
Kubuka dengan pernyataan dan pertanyaan standar, "Saya dari Indonesia. Anda dari kampus apakah dan di negara manakah?
"Venice."
"Oh. Great! Never knew Venice has a university. So, it means you are an Italian?"
"Canadian, actually."
Dan itulah saat tawaku mulai pecah. Agak sulit bagiku untuk tetap bersikap serius mendengar jawabannya yang spontan ini. Rasanya seperti menahan diri supaya tidak tersedak makanan, atau sewaktu-waktu ia akan melompat bebas melalui saluran hidung.
"Excuse me if I am curious ... may I know how come a Canadian got stranded in Venice? I thought it was only a place for couples on honeymoon!"
"Yeah, I don't blame you. And you might not believe this as well. I am a PhD actually."
What!? How!? What the heck does a PhD do in an education fair in a country faraway from one's research and university?
"I am bored. That is why."
Demikianlah tawaku pecah. Sambil berurai air mata karena terlalu geli mendengar pengakuan sang doktor ini. Sekonyong-konyong aku mendengar sahutan suara "Ssshuuushhhss!!" dari sekelompok bapak-bapak di meja sebelah, dan entah kenapa aku merasa wajib menyampaikan peringatan ini kepada teman bicara di mejaku,
"Look. I seriously think I need to move to another table, otherwise I will laugh harder listening to every word you are saying right now. Although they are all true, it is just unbelievable and I am sorry I cannot stand for not laughing."
Tak kusangka ia memprotes, "Are you kidding? We can laugh all the time as much as we want. Here. Right now. Who cares?"
Benar juga, batinku. Toh, mereka juga bebas untuk tinggal atau pergi bila merasa terganggu dengan percakapan di meja kami. Seperti refleks untuk memastikan kelanjutan interaksi kami, ia pun menjabat tanganku, "I am Christine" dan kujawab dengan namaku sendiri ... sambil meminta maaf karena tanganku sedikit lembab karena keringat. Ia berupaya untuk menghiburku, "No worries. My armpits are also sweating all the time." Aku pun kembali tertawa terbahak-bahak.
Tak percaya rasanya bisa bertemu dengan akademisi tingkat tinggi dalam acara publik semacam ini, hingga aku pun merasa perlu bertanya, "What is you field of research?"
"Italian Renaissance. Actually I was a professor in this."
"Wow. It must a difficult subject of study."
"Yes, actually. Indeed. It is difficult, especially more difficult if you have to encounter so many people who feel they are the smartest in this world .... so they think your paper is worthless."
Hmm ... entah kenapa komentarnya yang terakhir tadi membuat khayalku melayang ke isu-isu di kantor seperti JFAA, grading, pangkat, dan sejenisnya. Indeed, it is true. Banyak sekali yang merasa dirinya lebih kompeten dari orang lain meski tidak banyak mengetahui mengenai prestasi apa saja yang telah dilakukan oleh koleganya tersebut.
Namun entah kenapa aku tak terlalu larut dalam imajinasi problematika di kantor, dan memilih kembali ke realitas percakapan kami di siang itu. Aku berusaha menghibur dan menggodanya,
"Well, of course Italians feel smarter than you. As you have said before, the study is about Italian Renaissance. Now you are conducting your research in Venice. Of course all Italians will feel they are smarter than you in this subject matter ... as you are a foreigner, because you came from Canada. Who do you think others will believe more to explain about Italian Renaissance: a native Italian or an imported docent from Canada?" candaku.
Demikianlah. Gilirannya untuk tertawa, "You are right."
Ia pun kembali melempar bola percakapannya kepadaku, "What about you?"
Menanggapi ini, aku ceritakan bahwa aku alumni yang ikut meramaikan pameran ini dengan berbagi kisah kepada pengunjung yang rata-rata mahasiswa atau pelajar SMA. Tapi sama seperti dia, pekerjaanku sehari-hari juga tidak ada hubungannya dengan kegiatan kita di hari ini. I might be bored too.
Tapi entah kenapa ia membesarkan hatiku ... dan berkata,
"You know what, for these universities ... a person like you is actually equals to gold."
Maksudnya?
Ia menjelaskan, "Coba tengok di sekitarmu ... adakah kampus-kampus lain di sini masih mengetahui keadaan alumni mereka? Apakah mereka tetap saling berkomunikasi dengan lulusannya? Saya rasa kebanyakan mereka tidak demikian. Padahal alumni lokal akan dapat sangat membantu bilamana kampus-kampus tersebut ingin mengembangkan sayapnya ke belahan dunia yang lain. Mereka bisa menjembatani perbedaan budaya dari kedua negara.
Entahlah, jawabku.
Sejujurnya aku berada di sini karena ingin memperlihatkan banyak jalan menuju Roma.
Aku ingin generasi setelahku tetap merasa optimis bahwa semua orang bisa mempunyai cita-cita tinggi dan mampu untuk mewujudkannya tanpa perlu terlalu banyak berkorban perasaan ... atau biaya ... atau waktu ... atau harapan mereka. Ah, "Banyak jalan menuju Roma" ... apakah ungkapan tersebut juga pertanda sehingga hari ini aku bertemu professor Italian Renaissance dari Venesia ... tempat yang terkenal dengan deretan kanal-kanalnya?
Ah, kanal ... mengapa aku jadi teringat dengan obrolan pertama tadi? Sewaktu semula kita membahas tentang Gothenburg dan Batavia. Sewaktu aku ceritakan tentang kanal Göta Alv dan sungai di Kota Tua. Adalah takdir yang mempertemukan dan memisahkan kita manusia-manusia dari segala tempat yang bebeda tersebut ... di jam makan siang yang singkat ini.
Dan aku pun kembali lapar.
Narasinya sebenernya ga sedih tapi begitu slese baca berasa melow..
BalasHapusWah, benarkah? Saya tidak bertujuan demikian ... membuat pembaca jadi 'mellow' ... but thank you for opinion Sam :)
Hapus