Ada yang beda dengan Dimas akhir-akhir ini. Sebenarnya penampilannya masih sama, tapi kini dia selalu didampingi pria berpeci dan bersafari. Badannya tak gempal namun cukup besar. Posturnya lumayan tinggi dan sesekali berkacamata legam. Hampir di setiap langkah Dimas selalu ada jejak pria itu di belakangnya.
"Wah, jangan-jangan sekarang Dimas dijaga bodyguard", sekilas terbersit pertanyaan dalam hati.
Bersamaan dengan itu terbersit pula keraguan yang tak kalah gaduh, mengingat sesekali pria misterius itu terpergok berbekal tas jinjing semi koper yang dikempit, kadang di sebelah kanan, kadang di sebelah kiri.
"Ooh, mungkin dia semacam pengawal atau asisten pribadi si Dimas" coba menyimpulkan sendiri.
*****
Beberapa bulan yang lalu Dimas berhasil memenangkan pemilihan lurah di daerah kami. Dia menjadi lurah termuda sepanjang sejarah berdirinya kelurahan kami. Sebagai teman dari SD hingga SMA aku ikut merasa bangga. Sejak SMP, Dimas memang sangat aktif berorganisasi. Prestasi di bangku sekolah dan kuliahnya juga mentereng. Ranking satu tak pernah lepas dari genggamannya ketika sekolah. Pun begitu waktu kuliah, di saat aku dan teman-teman seangkatan masih berkutat menyelesaikan skripsi, Dimas sudah mulai mengerjakan tesisnya. Dia memang tampak menonjol diantara teman-teman sebayanya. Meski agak mengejutkan, namun dia memang layak mencalonkan diri menjadi lurah waktu itu. Terbukti, akhirnya dia berhasil terpilih.
Namun sayang, torehan gemilangnya di bidang pendidikan dan karir tak berbanding lurus dengan prestasinya di bidang
percintaan. Hingga kini menginjak pertengahan kepala tiga, statusnya masih saja lajang. Setiap kali kami menanyakan perihal pasangan hidup, jawabannya selalu diplomatis, "Nanti ada waktunya, jodoh pasti ga kemana". Saat kami mencoba mendesakknya dengan pernyataan semacam, "jangan terlalu pemilih, pacaran aja dulu buat kenal lebih dekat". Dia selalu menimpali dengan pernyataan yang sama, "aku ga mau pacaran, kata pak ustadz dilarang agama...jadi nanti kalau uda nemu yang pas, langsung nikah aja". Tapi faktanya, sampai sekarang belum nikah juga. Entah belum nemu yang pas atau sudah terkuras dengan urusan sekolah dan karirnya. Tapi yang membuat aku salut, apapun kondisi dan statusnya, dia tetap memegang teguh prinsip "ga mau pacaran dan langsung nikah" yang memang sesuai dengan tuntunan agama.
*****
Tiba juga akhirnya hari dimana kami sudah merencanakan untuk mengadakan reuni akbar SMA. Aku yang didapuk sebagai ketua panitia berusaha sekuat tenaga agar banyak teman seangkatan yang bisa datang. Mengingat beberapa dari kami juga sudah menyebar ke berbagai wilayah Indonesia. Dari jauh-jauh hari sudah kami informasikan jadwal hari ini agar teman-teman bisa mengosongkan waktunya.
Ini juga berlaku buat Dimas yang sekarang sangat sibuk dengan aktifitasnya sebagai lurah. Maklum, meski rumahnya masih dekat dengan kami tapi tak bisa dipungkiri jadwalnya padat berisi. Bahkan untuk sekedar bertemu sehari-hari saja harus buat janji dan tak bisa berlama-lama. Oleh karena itu aku sangat bahagia saat kemarin Dimas memastikan akan hadir dalam reuni hari ini. Sekalian saja aku minta dia buat memberikan sambutan, sebagai pimpinan tertinggi di kelurahan kami juga.
Singkat cerita, rangkaian acara reuni akbar pada hari ini telah berjalan lancar. Kini tinggal acara ramah tamah yang diisi makan-makan dan ngobrol-ngobrol bebas saja. Setelah dari awal acara sibuk mondar-mandir untuk mengecek kesiapan acara, sekarang aku bisa bernafas lega dan mulai mencari teman-teman akrab dulu untuk berbincang segala macam. Seketika langsung terlintas nama Dimas di kepala. Clingak clinguk kana kiri, akhirnya kutemukan juga Dimas sedang duduk makan bakso. Tak ada yang mengajaknya ngobrol, dia hanya khusyuk menguyah butiran butiran baso di mangkuknya. Aku sedikit mengernyit heran karena Dimas terkenal supel dan baik, kenapa tak ada yang menghampirinya. "Apa mungkin sungkan karena dia sekarang Pak Lurah? "Atau semenjak jadi lurah Dimas jadi berubah? " Pertanyaan pertanyaan itu terlontar dalam pikiran dan tak ada yang bisa dimintai jawabannya.
Alamak, setelah sedikit teliti mengamati lagi, ternyata di belakang Dimas ada sosok pria yang selalu sama. Bersafari, berpeci, berkacamata legam, dan kali ini dia mengempit tas jinjingnya di sebelah kiri. Eh tunggu, sekarang wajah pria itu mulai dihiasi kumis yang mulai menebal. "Mungkin dia yang membuat teman-teman ga berani mendekati Dimas!" aku menebak sendiri.
Karena sudah lama penasaran, sepertinya ini momen yang tepat dan langka untuk menanyakan ke Dimas, siapa sebenarnya pria itu. Bergegas aku berjalan menuju ke arah Dimas, takut keburu dia pergi meninggalkan lokasi. Saat sudah dekat, aku mencoba memberanikan diri menyapanya.
"Halo Pak Lurah, apa kabar?"
"Ah elu, bisa aja, sini duduk sini... dari tadi ga ada temen gw"
"Hahaha.. pada takut kali sama Pak Lurah" saya masih berseloroh sambil duduk di samping kanan Dimas
"Apa kabar lu ndro? ah, uda lama ya kita ga ngobrol-ngobrol gini"
"Alhamdulillah baik, maklum lah gw sama Pak Lurah yang super sibuk ini"
"Alaah, uda ah ga usah Pak Lurah Pak Lurah an segala"
"Siap pak lurah Dimas!" saya masih belum bosan menggodanya.
"Hahaha... ssst.. mending kita ngomongin hal yang lebih penting Ndro"
"Weits... apa tuh... tunggu... hmmh... bukan tentang cewek kan? "
"Ah elu, sejak kapan jadi dukun, bisa nebak arah pemikiran gw, hehe..." Dimas sedikit terkekeh.
"Yaa.. elu belum nikah kan Dim?" "Jadi hal penting apa lagi kalau bukan cewek..hehe"
"Jangan kenceng-kenceng.. nanti diomongin orang, masa Pak Lurah ga laku"
"Hahaha.. elu sih dari dulu gw suruh pacaran ga pernah mau.. sekarang susah sendiri kan"
"Bukan gw ga mau Indro, pacaran kata pak ustadz ga boleh, jadi gw maunya kalau uda ketemu yang mau, langsung nikah aja"
"Jawaban lu masih sama dari dulu, susah kali Dim ketemu yang mau terus langsung nikah, gimana caranya itu.. susah!" saya masih ngeyel dan berusaha meyakinkan Dimas untuk mulai merubah pemikirannya.
"Kalau dulu mungkin susah Ndro, sekarang kan gw lurah, punya kuasa... jadi gampang lah itu"
"Maksudnya? lu mau maksa anak orang nikah, kalau ga mau rumahnya digusur gitu? "
"Haha.. gila lu.. ya ga gitu lah.. dzolim itu"
"Terus?"
"Terus..ya ini.. sekarang gw bisa bawa Bapak di belakang gw ini kemana-mana?" ucap dimas sambil mengarahkan jempol kanannya ke belakang.
Aku yang semakin bingung dan bengong hanya terdiam dan tak menimpali.
"Ndro?"
Aku tersentak sejenak dari keterdiamanku. "Ah ini saat yang tepat untuk tanya siapa pria itu" batinku
"Kenapa lu Ndro?"
"Hehehe.. ga papa kok Dim" aku menjawab sambil sedikit membungkuk ke arah telinga Dimas.
"Dim, jadi sebenarnya pria itu siapa? bodyguard?" bisikku hati-hati takut pria itu mendengarnya.
"Hahahaha.. bukaan!" Dimas malah tertawa keras.
"Ssst..! " cegahku.
Dimas pun berdiri dan mengajakku berpindah posisi sedikit ke pojokan.
"Bapak tunggu sini aja dulu ya.. saya mau ngobrol sama teman saya dulu" Dimas menoleh ke arah pria misterius tadi.
"Siap, Pak! " jawab pria itu tegas.
Setelah sampai di pojokan, sambil mengambil segelas air mineral, Dimas tampak akan memulai penjelasannya.
"Jadi dia itu siapa?" tanyaku tak sabar.
"Sabar...", Dimas duduk sebentar sambil menyeruput air beberapa tegukan.
Kemudian dia kembali berdiri.
"Jadi... dia itu bukan bodyguard... dia itu kepala KUA di sini, penghulu lah orang biasa bilang"
"Lah.. lalu.. kenapa kau bawa dia kemana-mana? " "Lalu apa hubungannya sama pernyataan lu tadi yang tentang kuasa dan nikah?" aku langsung memberondong pertanyaan.
"Gini... gw tadi bilang kan, gw ga mau pacaran, pengennya pas ketemu yang mau, langsung dinikahin aja"
"Ho oh, terus? "
"Lu bilang susah kan, nah gw kasih tau semenjak gw jadi lurah, itu ga sulit"
"hmmhh? "
"Iya, karena gw lurah, gw bisa suruh pak penghulu itu selalu ikut kemana gw pergi"
"haa? "
"Jadi...kalau gw ketemu cewek yang gw taksir, dan pas gw tanya mau nikah sama gw apa ga, dia mau" dia sedikit mengambil napas
"Gw kan bisa langsung nikah tu... uda ada penghulu yang siap sedia di dekat gw... gampang kan?"
"makanya ke sini dia jg gw ajak, siapa tau ada temen SMA kita yang cantik dan belum nikah... kan bisa gw tanya, kalau mau langsung dah kita nikah di sini... penghulunya uda siap.. "
"baru gw mau nanya ke elu selaku ketua panitia"
"Oalah Pak Lur.. Pak Lur... "
"KOPLAK lu! " sergahku.
Sejak saat itu, aku tercatat dalam sejarah sebagai satu-satunya warga yang berani "ngatain" lurahnya.
* Sekian *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar