Saya juga mau berbagi cerita kembali soal pendidikan anak saya pertama, Haya saat mau lulus ke jenjang SMP. Saat ini anaknya sudah sekolah di MAN I Bekasi dan kebetulan anaknya senang ikut kelas CBT-Computer Based Technology. Kekurangan kelas ini memang teman kelasnya itu saja hingga kelas 3. Namun siswa tidak dibebankan homework dan tugas sejenisnya. Kok masih soal pendidikan? Iya saya perlu berbagi karena fakta ini ada di tengah masyarakat wilayah kota di Bekasi. Saya tidak ada referensi untuk kota lain. Selain itu ada cerita menarik soal bagaimana hasil UAN bisa dipermak menjadi lebih bagus agar masuk sekolah favorit di wilayah kota Bekasi.
Saat si kk menjalani soal kelulusan saat sekolah dasar, kurikulum yang berlaku adalah kurikulum 2013 dimana jenjang pendidikan dasar tidak perlu menjalani semacam ujian akhir nasional (UAN), yang merupakan sudden death bagi beberapa peserta didik. Karena masa depannya hanya ditentukan oleh hasil UAN semata, tidak mempertimbangkan peserta didik sejak kelas 1 hingga 6 sekolah dasar. Selain itu, pendidikan dasar selama 9 tahun itu tidak perlu ada semacam sudden death atau UAN segala, sesuai dengan kurikulum 2013. Pada tahun sebelumnya, tahun 2012, pendidikan dasar masih menggunakan kurikulum 2006 yang mengharuskan ada UAN dan semacamnya. Istilah keren untuk kurikulum 2006 adalah KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) dan saat itu si kk diuntungkan karena tidak masuk dalam kurikulum 2006, jadi bisa langsung lulus tanpa harus ada UAN.
Masalah yang terjadi adalah meskipun tidak ada UAN bukan berarti semua sistem jujur dan wajar tanpa hambatan. Faktanya banyak sekolah dasar negeri di wilayah kota Bekasi “bermain” di angka kelulusan peserta didiknya asal ada iming-iming atau imbalan uang, sehingga angka hasil ujian akhir untuk masuk SMP pilihan pun bisa “dikatrol” sepanjang sesuai dengan “kesepakatan”. Alhamdulillah si kk dan kami sebagai orang tua tidak tergoda untuk hal-hal seperti itu. Meskipun si kk Haya tidak masuk SMP Negeri pilihan (SMP Muhammadiyah 28 Kota Bekasi – swasta) hasilnya tetap membawa keberkahan untuk Haya dan masa depannya. Pada awalnya si kk sempet minder karena banyak teman SD nya masuk sekolah negeri.
Makanya, saya ingin bertanya, apakah UU Sisdiknas atau kebijakan pemerintah atas pendidikan menjangkau hal-hal seperti ini? Bagaimana pendidikan itu seharusnya dilaksanakan? Bukankah pendidikan juga mencakup perihal budi pekerti dan kejujuran didalamnya? Sejak dini, anak-anak atau peserta didik diajarkan dari alam sadarnya dibawa ke alam ketidakjujuran. Makanya saya tidak heran kalau bangsa ini tidak berkah karena dalam hal pendidikan saja masih ada unsur ketidakjujuran. Anak-anak peserta didik merasa bangga bisa bersekolah di negeri meski mereka berada di jurang “ketidakjujuran”.
Pendapat ini merupakan pendapat dan pengalaman pribadi saya. Masih banyak disclaimer di dalamnya. Inilah kiranya pandangan saya tentang pendidikan di Indonesia yang cenderung memberatkan otak bagian kiri atau menyangkut hal-hal hitungan dan matematika. Pendidikan dasar jarang menjangkau hal-hal yang menyangkut kreatifitas (otak kanan). Ini bukan sebuah kesalahan tapi fakta bahwa memang seperti itu pendidikan di Indonesia. Makanya kami selaku orang tua tidak pernah “memaksa” untuk selalu menggunakan otak kiri. Saya cenderung mendukung penggunaan otak kanan yang mendominasi hal-hal yang berbau kreatifitas. Saya berharap rekan-rekan yang memiliki keilmuan yang lebih bisa berpikir ke depan atas fenomena pendidikan di Indonesia seperti ini. Semoga Allah selalu melindungi Indonesia sebagai bangsa yang memiliki sumber daya alam yang berlimpah dan dapat digunakan sesuai dengan hati nurani penduduknya.
Cerita
dapat juga dibaca pada link berikut :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar