Sebenarnya saya gak ingin menulis soal sekolah dan pendidikan, tapi karena ada anggota sesama komunitas bukannotadinas.com menulis soal pendidikan, rasanya perlu saya share sedikit soal pendidikan yang saya alami pada anak-anak saya. Cerita ini memang agak flashback karena anak perempuan kedua saya saat itu masih kelas I SD dan dia sekarang sudah kelas V SD.
Bermula dengan semangat empat lima, anak kedua saya, Rafeyfa (Feyfa) bersiap berangkat ke sekolah di hari pertama masuk sekolah. Seperti biasa, hari pertama sekolah dalam tahun ajaran sekolah, anak-anak baru sangat semangat masuk sekolah. Segala perlengkapan sekolah seperti buku, tempat pensil, tas dan baju seragam akan jadi isu utama saat masuk sekolah. Tak terkecuali Feyfa. Berangkat ke sekolah maunya pagi-pagi sekali, bahkan saat itu pukul 06.00 pagi anaknya sudah lebih siap dari orang tuanya yang akan mengantar ke sekolah. Setelah semua siap, si Umi bersiap berangkat untuk mengantar Feyfa dan kakaknya, Haya ke sekolah.
Tiba di sekolah, banyak anak-anak yang masih diantar oleh orangtua, kakak, om dan tantenya, dan ada juga yang dianter oleh kakek atau neneknya. Suasana sekolah, terlihat ramai dan akan menjadi tempat belajar mereka di kemudian hari kelak. Saling tatap dan agak malu-malu untuk saling tegur merupakan hal yang wajar. Rata-rata mereka berangkat dari taman kanak-kanak yang berbeda dan sekolah ini merupakan sekolah dasar negeri bukan swasta. Saat penetapan wajib belajar selama 9 tahun oleh pemerintah pusat, Bekasi salah satu yang sudah membebaskan uang sekolah bagi murid-muridnya untuk tingkat sekolah dasar dan menengah. Sekolah ini berada di sekitar komplek perumahan dan ada beberapa anak yang memang selesai dari taman kanak-kanak yang sama dengan Feyfa.
Teng…teng…teng. Bel masuk kelas telah berbunyi dan anak-anak akan siap masuk kelas dengan berbaris. Setelah itu, anak-anak masih diberikan kebebasan untuk duduk di bangku mana saja dan dengan siapa saja. Orang tua masih diperbolehkan melihat anaknya dari luar kelas. Wali kelas memberikan informasi mengenai tata tertib sekolah termasuk jam masuk dan pulang, mata pelajaran, buku sekolah yang harus dibeli, seragam dan kegiatan ekstra kurikuler yang dimiliki sekolah. Hari pertama berjalan lancar dan tidak ada hambatan. Karena para siswa hanya diperkenalkan mengenai tata tertib sekolah dan siapa wali kelasnya. Hari kedua dapat dilalui juga dengan lancar oleh Feyfa.
Pada hari ketiga, sekolah dimulai dengan pelajaran olahraga dimana para siswa bermain dan berolahraga terlebih dahulu. Masuk kelas pada pukul 08.00 dan kebetulan saat itu, wali kelas Feyfa sedang cuti umroh dan orang tua yang mengantar bebas masuk hingga ke dalam kelas. Selama seminggu siswa diberikan kebebasan untuk duduk dimana pun dan dengan siapapun. Setelah olahraga, Feyfa dengan santai duduk di barisan depan, yang memang bukan tempat duduknya selama 2 hari lalu. Kebetulan juga si Umi lagi ada urusan sehingga tidak bisa menunggu proses belajar yang sedang berlangsung.
Entah kenapa tiba-tiba, ada seorang ibu yang melihat bahwa siswa yang duduk di depan bukanlah anaknya melainkan Feyfa, langsung masuk dan menghardik Feyfa. “Hei nak, tolong pindah duduk di belakang ya. Ini kan tempat duduk anak saya kemarin selama 2 hari. Kamu gak duduk di sini kan? Jadi segera pindah ya”, sambil anaknya ibu itu digandeng untuk segera duduk di kursi depan. Apa yang terjadi saat itu membuat kami khawatir. Saat itu pun wali kelas pengganti terlambat mengantisipasi hal-hal seperti ini. Namanya juga sekolah dasar negeri, jadi wali kelas pengganti lambat menutup pintu agar orang tua siswa masuk ke dalam kelas.
Setelah si umi kembali dan kelas ternyata telah bubar, Fefya menangis gak karuan dan ketika bertemu dengan umi, tangisannya makin terdengar keras. Setelah menanyakan apa yang terjadi, esok harinya kami melakukan protes kepada pihak sekolah dan langsung menghadap kepada Kepala Sekolah atas kejadian kemarin agar tidak terulang kembali. Respon dari sekolah cukup baik dan meminta maaf atas kejadian ini. Saat kami meminta alternatif jalan keluar atas masalah ini, pihak sekolah belum bisa memutuskan. Dan sejak kami protes, setiap tahun ajaran baru khusus untuk kelas I, akan dijaga oleh wali kelas yang bersangkutan untuk memantau agar orang tua siswa tidak ikut campur soal tempat duduk. Tempat duduk akan dirotasi setiap minggu agar siswa yang punya kelemahan dalam membaca dapat merasakan suasana berbeda saat duduk di depan.
Selesai dengan permasalahan sekolah, pada hari kelima dan seterusnya, Feyfa tidak mau masuk sekolah. Kami pun sempat panik. Kami carikan sekolah swasta dan beberapa sekolah yang kami rasa sanggup untuk bayar SPP-nya, tetapi anaknya tidak mau bersekolah. Selama seminggu berlalu, dan sebelumnya kami juga sudah pernah menanyakan kenapa alasannya tidak mau bersekolah dan kali ini kami ingin meyakinkan diri kami dan jawabannya, “Dd gak mau ketemu seperti ibu-ibu yang itu lagi”, sambil mengeluarkan air matanya. Masya Allah. Pengalaman yang sangat traumatis bagi Feyfa. Kami pun sebagai orang tua tidak bisa memaksakan untuk tetap bersekolah. Akhirnya Feyfa tidak sekolah selama 1 tahun dan selama itu, Feyfa hanya ikut les membaca dan menulis. Akhirnya pada tahun berikutnya, Feyfa baru bisa masuk sekolah kembali tetapi tidak di sekolah yang sama. Alhamdulillah dia sudah mau masuk sekolah kembali meski harus lama menunggu selama 1 tahun.
Lesson learnt. Tidak mudah untuk seorang anak bisa memulai sekolah dengan segala warna-warninya. Bayangan dalam pikirannya tentang sekolah adalah bermain dan berteman dengan kawan-kawan yang baru. Banyak harapan ketika mau masuk sekolah. Namun karena arogansi orang tua juga membuat kehidupan dan kesenangan anak-anak lain bisa ternoda. Saya share karena saya peduli rekan-rekan masih memiliki anak-anak balita, mohon dijaga tumbuh kembang lingkungan baik sekolah dan teman-temannya. Kejadian atas anak saya agar tidak terulang kembali dan kita juga harus peka terhadap kondisi anak-anak kita, karena mereka titipan Allah yang harus tetap dipelihara dan dijaga akhlak dan jiwanya. Aamiin.
Kaitannya dengan pendidikan yang 20% dari APBN tidak terlalu banyak pengaruh. Karena UU belum mengalami perubahan yang signifikan dan mendasar dan tidak berpengaruh banyak pada pendidikan dasar. Saya memang berniat menyekolahkan ke sekolah negeri agar dampak dari UU itu dapat dirasakan. Tapi faktanya malah kebijakan pemerintah melalui UU tidak menyentuh sisi humanis dari setiap peserta didik. Saya cukup beruntung dan bersyukur bahwa anak saya masih mau bersekolah setelah 1 tahun. Bagaimana anak yang sering di bully setiap hari dan masih merasakan adanya bullying di sekolah? Saya rasanya kasihan karena perasaan seorang anak yang di bully itu tidak akan hilang dalam jiwa dan raganya selamanya. Hal itu juga belum menyentuh masalah sarana dan prasarana setiap sekolah, apakah layak atau tidak ruangan kelas dan banyak hal lainnya. Apa yang terjadi pada anak saya, semoga tidak terjadi pada rekan-rekan bukannotadinas.com yang cinta dengan pendidikan di Indonesia. Hal ini cukup menjadi renungan untuk pribadi saya dan apa yang perlu diperbaiki di masa yang akan datang. Banyak orang hebat di Indonesia tapi sedikit orang hebat yang mau berpikir keras untuk kemajuan Indonesia dengan langkah nyata. Semoga kita menjadi orang hebat yang sedikit itu. Aamiin
Cerita dapat juga
dibaca pada link berikut :
Sebagai sesama korban 'penggusuran' bangku di kelas ... saya harap anak Pak Rumah Kaca tak patah semangat dan tetap semangat sekolah :-)
BalasHapusTerima kasih mba Embun. Saat ini anaknya sangat semangat untuk tetap sekolah, makanya jika ada hal-hal yang menyangkut bully, saya atau kami akan menghadap langsung ke Kepala Sekolah. Anaknya besar nanti mau menjadi Chef Master
Hapus