Bicara
tentang principal-agent problem akan
terbayang hubungan yang terjadi di sektor swasta seperti relasi antara majikan
dan pekerja atau pemilik perusahaan dengan para profesional pengelola
perusahaan. Dimana pemilik perusahaan bertindak sebagai principal, sedangkan manajer sebagai agent. Pemilik mempercayakan kepada manajer untuk menjalankan
usahanya. Pemilik menggaji sang manajer dengan layak untuk satu tujuan, yakni
memaksimalkan laba perusahaan. Masalahnya pemilik tidak dapat memonitor prilaku
atau tindakan sang manajer sehari-hari. Dia mengukur kinerja manajer hanya
berdasarkan laba yang diperoleh perusahaan. Padahal perolehan laba tidak serta
merta terjadi karena kinerja dari manajer. Bisa saja hal tersebut disebabkan
oleh faktor lain seperti kondisi pasar atau perekonomian yang memang mendukung
sehingga tanpa upaya maksimal sang manajer, perusahaan tetap akan untung (Grossmann dan Hart,
1983).
Penerapan
pendekatan ini dalam sektor publik dilakukan untuk melihat pengaruh faktor
non-ekonomi dari federal grants pada
prilaku pemerintahan lokal (Chubb,
1985). Studi Chubb bertujuan untuk menunjukkan bahwa berbagai outcomes berbeda yang dihasilkan oleh
sistem federal dapat dispesifikasikan dan dianalisis secara kuantitatif. Dengan
menggunakan ekonometrika sebagai alat uji dengan menganalisis kinerja dua program
utama federal grants pada 50 negara
bagian di Amerika selama kurun waktu 1965-1979. Chubb menganggap Kongres dan Presiden sebagai principal yang menyediakan alokasi
kepada negara bagian dan pemerintah lokal untuk melaksanakan tugas-tugas
tertentu.
Sementara
bertindak sebagai agent adalah federal grants agencies yang
bertanggungjawab dalam distribusi anggaran, menyusun regulasi dan aturan
terkait penggunaan dana tersebut. Permasalahan disini adalah birokrasi yang
ditunjuk sebagai agen memiliki kepentingan yang berbeda dengan para anggota
senat dan presiden. Agen berkepentingan untuk memberikan pelayanan maksimal
kepada mitra kerjanya, dalam hal ini negara bagian dan pemerintah lokal.
Sementara para politisi berkepentingan untuk menjaga tingkat keterpilihannya di
daerah.
Di
sisi lain, kinerja dari agen juga sulit diukur karena sangat bergantung kepada
prilaku daerah penerima alokasi anggaran. Dan sering terjadi birokrasi lebih
mengenal daerah daripada anggota kongres dan presiden. Sehingga jika tidak
dilakukan monitoring dan pengawasan yang efektif maka meningkatkan potensi penggunaan
anggaran yang salah sasaran. Bahkan cenderung berdasarkan keinginan
masing-masing negara bagian atau pemerintah lokal. Namun, kendalanya untuk
melakukan monitoring dan pengawasan dibutuhkan biaya yang sangat besar. Hal ini
karena luasnya wilayah dan banyaknya jumlah daerah yang harus dikunjungi.
Penelitian
lain dalam penerapan principal-agent
problem sektor publik dilakukan untuk menganalisis desentralisasi fiskal
dan dana perimbangan pada multiregional
model of endogenous growth ( Ogawa dan Yakita, 2009). Studi
diarahkan untuk melihat karakteristik dari hubungan antara pertumbuhan dan
desentralisasi fiskal. Kemudian menunjukkan secara teori tingkat optimal dari
desentralisasi fiskal bagi maksimisasi pertumbuhan.
Model
yang dibangun memiliki asumsi bahwa terdapat dua tingkatan pemerintahan dengan
tujuan yang berbeda. Pemerintah lokal ingin memaksimalkan utilitas dari
penduduk di wilayahnya. Sementara pemerintah pusat menerapkan perimbangan
keuangan untuk menutup celah kapasitas fiskal antar daerah dan pada tingkat
pertumbuhan.
Ogawa
dan Yakita menyimpulkan bahwa preferensi tarif pajak yang dipilih oleh
pemerintah daerah secara positif berdampak pada besaran desentralisasi fiskal,
yaitu mendorong pemerintah lokal untuk menaikkan tarif pajak pendapatan. Dengan
sudut pandang berbeda, hal ini memberi makna bahwa dana perimbangan yang besar
membuat daerah tidak berkeinginan untuk meningkatkan sumber pendapatan asli daerahnya. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa transfer daerah menciptakan disinsentif efek.
Selain
itu, Ogawa dan Yakita juga menemukan bahwa perimbangan fiskal yang diberikan
oleh pemerintah pusat tidak memberi pengaruh terhadap percepatan konvergensi
pertumbuhan antar daerah. Hasil ini terlihat kontra-intuisi , karena peneliti
berfikir bahwa transfer dari pemerintah pusat akan menjadi stimulus bagi
pengentasan disparitas antar daerah. Lebih lanjut kedua peneliti ini berpendapat
bahwa tingkat desentralisasi fiskal yang optimal diarahkan untuk mencapai tujuan
pemerintah pusat. Namun, pilihan yang diambil pemerintah pusat justru berlebihan
dari ekspektasi daerah.
Lalu
bagaimana dengan sistem perimbangan keuangan pusat-daerah di Indonesia? Apakah
konsep desentralisasi fiskal yang berlangsung saat ini identik dengan konsep fiscal federalism yang diterapkan negara-negara
maju? Sebelum sampai pada analisa komparasi tersebut, perbandingan filosofis
dari kedua konsep ini, dibutuhkan
pemahaman perbedaan filosofis kedua konsep tersebut serta kondisi antar daerah yang ada secara utuh . Agar para
perumus kebijakan tidak terjebak pada tren copy-paste atau sekedar melakukan adopsi tanpa memperhatikan perbedaan mendasar dari
masing-masing konsep dimaksud. Penting untuk dipahami bahwa terdapat tiga tingkatan pemerintahan, pusat, propinsi dan kabupaten/kota di Indonesia dengan jumlah yang sangat banyak dan sangat bervariasi kondisinya. Hingga 2013 terdapat 33 Propinsi dengan 497 Kabupaten/Kota (BPS, 2013). Pemerintahan tersebut tersebar dalam rentang geografi yang begitu luas dengan kekayaan dan keunikan budaya masing-masing.
Sistem desentralisasi fiskal
di Indonesia berbeda dengan konsep fiscal
federalism negara-negara lain. Dengan bentuk negara kesatuan, maka otonomi
daerah di Indonesia dilakukan untuk mempercepat pemerataan pembangunan di
daerah. Sementara pada negara-negara maju penganut fiscal federalism kondisi antar negara bagian dan pemerintah lokal
lebih bersifat simetris, sehingga tujuan yang ingin dicapai bukan lagi
pemerataan pembangunan tapi lebih kepada harmonisasi fiskal dan minimalisir
dampak dari fiscal competition antar
daerah.
Dengan demikian fiscal
federalism
diartikan sebagai pembagian kewenangan dalam memperoleh pendapatan dan
tanggungjawab pengeluaran diantara berbagai tingkat pemerintahan. Sedangkan desentralisasi fiskal Indonesia,
diarahkan sebagai perimbangan keuangan yang diartikan sebagai sebuah sistem
pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan efisien
dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentraliasi, dekonsentrasi dan tugas
pembantuan dengan mempertimbangkan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah.
Lebih jauh, pola kepemimpinan di daerah juga
sangat bervariasi dan sangat bergantung pada asal partai politik pemimpinnya
dan suara mayoritas partai yang ada di DPRD. Sehingga tidaklah mudah membuat
program yang standar dan berlaku sama untuk setiap daerah. Hal ini menjadi
potensi konflik kepentingan antara pemerintah pusat dan daerah. Bagaimana
merumuskan sebuah desain transfer daerah (perimbangan keuangan) yang dapat
optimal bagi kedua belah pihak.
Jika melihat fenomena ketokohan pemimpin daerah
di beberapa tempat seperti Jakarta, Bogor, Banyuwangi dan Surabaya. Secara
nyata berhasil merubah kondisi pelayanan publik di daerahnya menjadi lebih
baik, transparan dan mendekati ekspektasi masyarakat. Maka dapat diduga faktor
prilaku pemimpin daerah memiliki pengaruh penting dalam pemanfaatan transfer
daerah bagi peningkatan pelayanan sektor publik di daerah.
Dengan demikian, prilaku pemimpin daerah dan relasi
politik pusat-daerah memiliki peran penting dalam keberhasilan tujuan desentralisasi
fiskal. Kedua variabel ini perlu mendapat perhatian pemerintah dalam membangun
kebijakan transfer daerah, sehingga tidak hanya fokus pada faktor ekonomi,
namun juga memperhitungkan faktor non-ekonomi dalam melakukan evaluasi dan
pengukuran keberhasilan pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia.
Kombinasi pendekatan ekonomi dan non-ekonomi
ini diarahkan mampu menjadi solusi optimal desain dana perimbangan pusat ke
daerah. Sehingga diperoleh titik optimum antara kepentingan pemerintah pusat
melalui konsep desentralisasi fiskal dan kepentingan daerah dalam mengelola
dana perimbangan yang diterima.
Keren tulisannya om Irsan. Contoh untuk kota selain Jakarta, Bogor, Banyuwangi dan Surabaya adalah Bantaeng, di wilayah Sulawesi Selatan yang terkenal hubungan kekerabatan, tetapi Sang Bupati mendobrak dengan segala kesederhanaannya. Tapi ada ente jadi lebih berwarna untuk bukannotadinas.com
BalasHapusterimakasih atas tambahan referensinya. Kapan ya diajak ke Bantaeng untuk membuktikannya? hehehehheh...
Hapus