"Bagaimana tadi hari pertama di sekolah? Gurunya bilang apa saja?" Begitu cecar mama sepulang aku dari sekolah. Aku hanya bisa menjawab, "Ga tahu Ma, tadi ngga kedengaran suara gurunya."
"Lho, kok bisa? Kamu duduk di mana?"
"Aku duduk di pojok Ma"
"Kalau begitu besok kamu cari tempat duduk di depan ya?"
"Iya Ma."
Jadilah besoknya aku duduk di depan, dan itu hanya berlangsung 5 menit ... sebelum serombongan cewek kece mencecarku, "Ih, kamu .... Kamu siapa sih? Ini tempat duduk kita tauuu.... Sana, gih. Kamu harus pindah." Kujawab, "Tempat duduknya bebas kan? Siapa yang duluan datang boleh duduk di mana saja?" Dan mereka berkata, "Pokoknya ini tempat duduk kita, kamu harus pindah sekarang." Pokoknya adegannya mirip sinetron-sinetron zaman sekarang deh. Heran juga sih, teman-temanku itu belajar dari mana ... khan waktu itu belum ada sinetron. Maklum, TV kita cuma ada 1 saluran yaitu TVRI. Satu-satunya serial pendek tentang anak sekolah cuma ada ACI (Aku Cinta Indonesia). Silakan di-google untuk tahu betapa jadulnya program televisi kami semasa SD.
Jadilah aku pulang dan mendapatkan pertanyaan yang sama seperti kemarin, dan memberikan jawaban yang sama seperti kemarin. Payah? Tidak juga. Sebab, meski sering sial dalam hal sosial, aku sering beruntung dalam hal akademis. (Hampir) selalu juara umum selama di bangku SD dan SMP, sementara 15 dari 20 tahun masa studiku sampai saat ini selalu dibiayai dengan beasiswa. Termasuk gelar master of science di negeri Viking dan Thor.
Satu-satunya beasiswa itu luput dariku adalah di masa kelas 6 SD, dan meski hari itu aku tidak merasa senang ... tidak juga merasa sedih. Maklum, bagaimana kita bisa merasa 'kalah' kalau belum pernah merasa 'menang' karena memang selalu menang? Sama halnya dengan seorang anak yang selalu hidup dengan penuh cinta dan tidak tahu makna 'cinta' sebelum ia merasakan patah hati. Sama halnya dengan seorang anak yang tidak pernah memikirkan uang sampai tiba waktunya ia mencari uang. Tapi itu semua adalah topik untuk cerita lain.
Yang kutahu, setelah mendengarkan pengumuman kepala sekolah melalui pengeras suara di panggung tengah bazaar, waktu itu aku hanya mengobati kehilangan beasiswa dengan jajan ke kantin untuk membeli wafer superman. Dan di sanalah aku merasa sedih, bukan karena apa-apa ... tapi karena melihat temanku, Maria, menangis. Melihat matanya yang sembab dan merah, aku tak bisa untuk tidak bertanya, "Maria kenapa? Ada apa Maria?"
Ia terkejut melihatku, dan buru-buru menghapus air matanya ... sambil bergerak menghindariku. Tentu saja aku bingung, meski Maria tidak berkata apa-apa. Alhamdulillah ada seorang teman melihat kebingunganku, karena setelah kami beranjak pergi ia berbisik kepadaku, "Maria sedih karena tidak dapat beasiswa juara umum."
Aku bertambah bingung, "Mengapa sedih? Khan tidak apa-apa tidak dapat beasiswa ataupun juara umum. Tahun ini aku tidak dapat juara umum. Aku tidak dapat beasiswa. Apakah aku harus sedih juga?"
Temanku memandang dengan tajam, "Kamu tidak mengerti ya. Maria selalu mengharapkan mendapat beasiswa dan menjadi juara umum selama bersekolah di sini. Selama 5 tahun, selalu kamu yang mendapatkan hadiah itu. Selama 5 tahun ... dia kehilangan kesempatan itu. Tahun ini, kamu memang tidak juara umum. Tapi tidak juga Maria. Dia sangat sedih karena kelas 6 ini adalah kesempatan terakhir untuknya menjadi juara umum."
Dan .... itulah pertama kalinya dalam hidupku aku merasakan sesuatu yang dinamakan dengan 'rasa bersalah.' Membuat orang lain tidak bahagia karena sesuatu yang kukira selama ini membuatku bahagia. Tapi benarkah selama itu aku bahagia? Mungkin iya, karena aku melihat ayah dan ibuku tersenyum. Selama mereka tersenyum bahagia, aku bahagia. Aku tidak terlalu peduli dan tidak terlalu memikirkan bagaimana perasaanku sendiri. Tentu saja kelihatannya keren selalu juara umum dan selalu mendapatkan beasiswa. Yang tidak pernah kukatakan kepada orang lain adalah, "Sebenarnya aku juga tidak tahu kenapa bisa begini. Jangan tanya resepnya karena aku juga sedang mencari. Yang jelas, belajar itu menyenangkan." Berpikir tentang perasaan hanya terjadi ketika aku mulai beranjak puber. Tapi, tentu saja itu untuk cerita yang lain.
NB:
Tulisan ini terinspirasi fenomena tahun ajaran baru, di mana saat ini seluruh orang tua dan siswa baru sedang berharap-harap cemas menjelang kenaikan kelas. Bagaimana suasananya? Bagaimana sistemnya? Apakah anak saya akan betah? Apakah gurunya baik? Apakah anak saya akan mendapatkan teman? Dan seterusnya, dan seterusnya. Saya belum pernah menjadi orang tua. Tapi saya pernah menjadi murid baru. Dengan menceritakan beberapa situasi yang kurang menyenangkan yang pernah dialami di sekolah, mudah-mudahan saya bisa bisa berbagi harapan dengan pembaca ... bahwa semua akan baik-baik saja. Semoga.
Wuaah...jaman mba embun, sdh ada bullying ya...hihi
BalasHapusSemoga mbak Embun. Smg makin banyak juga orang yang mau belajar berempati thd orang lain, termasuk saya. aamiin.
BalasHapusAmin
Hapus