Dalam
sebuah Focus Group Discussion (FGD)
seorang narasumber pernah membuat pernyataan bahwa carut-marutnya Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) kita lebih disebabkan oleh carut-marutnya peraturan
di Indonesia. Pernyataan tersebut ada benarnya mengingat setiap rupiah dari ribuan
triliun rupiah dalam APBN terikat dalam peraturan-peraturan yang sedemikian
banyaknya. Dari level aturan yang mengatur dan mengikat seluruh warga negara
sampai dengan aturan yang sifatnya hanya mengatur satu unit pemerintahan
terkecil. Dengan banyaknya peraturan-peraturan tersebut, tak heran jika
ditemukan banyak tumpang tindih pengaturan, duplikasi tugas fungsi dan
sebagainya yang kalau diterjemahkan singkat menjadi “benang kusut”.
“Benang
kusut” peraturan-peraturan di Indonesia bukannya tidak disadari, namun demikian
belum tampak adanya upaya untuk mengurai “benang kusut” tersebut. Dalam kaitan
dengan pernyataan di awal tadi, dapat dipahami bahwa “benang kusut” itulah yang
menyebabkan carut- marutnya APBN. Hal tersebut tidak akan terjadi apabila
peraturan-peraturan tersebut tidak berbiaya, tetapi kenyataannya semua
peraturan ber-biaya dan menjadi beban APBN bahkan dimulai dari saat
penyusunannya. Biaya penyusunan peraturan bahkan seringkali tidak sebanding
dengan solusi yang diharapkan dari adanya peraturan tersebut. Belum lagi biaya
untuk mengimplementasikan peraturan dan biaya-biaya lain yang ditimbulkan untuk
mematuhi peraturan tersebut.
Menghilangkan
peraturan-peraturan yang ada tidaklah mudah, karena peraturan-peraturan
tersebut merupakan alat untuk melaksanakan kebijakan pemerintah. Tidak mudah
bukan berarti tidak bisa, karena dalam proses penyusunan kebijakan/peraturan
dikenal suatu alat yang bernama Regulatory
Impact Analysis (RIA). RIA dapat digunakan sebagai metodologi ataupun alat
untuk menganalisa dampak dari suatu kebijakan/peraturan. Identifikasi masalah
yang tepat dan alternatif solusi terbaik merupakan inti dari RIA. Setiap
kebijakan yang diambil harus dianalisa untuk menentukan bahwa alternatif solusi
terpilih adalah yang memberikan manfaat bersih lebih besar daripada biaya yang
ditimbulkan/akan ditimbulkan.
Lalu
apakah implementasi RIA dapat serta merta “membersihkan” APBN?. Seharusnya bisa,
karena best practice di negara-negara
lain RIA digunakan untuk melakukan efisiensi. Efisiensi tersebut dihasilkan
dari adanya deregulasi peraturan yang umumnya dilakukan pada tahap-tahap awal
implementasi RIA. Dalam tahapan selanjutnya, RIA digunakan untuk menilai semua usulan
kebijakan/peraturan untuk memastikan bahwa implementasi kebijakan akan
memberikan manfaat yang lebih besar daripada biaya kepada semua pemangku
kepentingan.
Di
Indonesia, RIA bukanlah hal yang baru. Di awal tahun 2000-an Bappenas bahkan
sudah menerbitkan pedoman RIA, tapi sampai saat ini RIA belum dilembagakan dan
hanya berakhir dalam uji coba. Beberapa pemerintah daerah juga sudah menerapkan
RIA, tapi sepertinya tidak menjadi masiv dan diikuti oleh daerah-daerah
lainnya. Dalam Undang-Undang tentang penyusunan peraturan perundangan, RIA
tidak secara eksplisit diwajibkan, walaupun sebenarnya ruang untuk penerapannya
terbuka pada saat pembuatan naskah akademis yang merupakan pra-syarat dalam
setiap penyusunan peraturan perundang-undangan.
Kendala
terbesar dalam implementasi RIA adalah pada komitmen politik. RIA harus menjadi
suatu komitmen politik mengingat banyaknya pemangku kepentingan dan kepentingan
itu sendiri yang tentunya harus dianalisa secara mendalam dalam proses RIA. RIA
juga membutuhkan sumber daya yang memiliki kompetensi tinggi karena untuk
melakukan analisa dampak, seorang penyusun RIA harus melakukan riset yang
memadai dan mempunyai pemahaman yang komprehensif terhadap semua aspek
permasalahan yang akan dicarikan solusinya.
Apakah
RIA kemudian menjadi mission impossible?.
Ya, bila hanya berhenti di tataran konsep. Hanya ada dalam pemikiran-pemikiran.
RIA akan terimplementasi apabila ada upaya untuk mengimplementasikannya. Butuh waktu
dan daya tahan tinggi, tetapi layak untuk dicoba, paling tidak bertahap dan
dalam lingkup yang tidak terlalu luas. Efisiensi, potong anggaran sana-sini tidak
akan efektif dalam jangka panjang jika peraturan-peraturan yang ada di republik
ini masih seperti “benang kusut” yang mengikat setiap rupiah dalam APBN. RIA dahulu,
efisiensi kemudian.
Saya belum pernah mempelajari RIA, untuk metodenya seperti apa ya Pak dalam penerapan RIA? Saya pernah sedikit belajar mengenai teori Impact Evaluation, ada dua metode untuk menghitung dampak, menggunakan metode Propensity Score Matching (PSM) atau Difference in Differences (DID),sepertinya metodenya mirip.
BalasHapusMenurut saya RIA ini sangat baik untuk bisa diterapkan, karena mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai pelaporan semuanya merujuk pada regulasi-regulasi.
Peraturan yang banyak ini, sebenernya bertujuan untuk menjaga efisiensi anggaran atau malah akhirnya berdampak inefisiensi?
umumnya metode yang dipakai adalah CBA (Cost Benefit Analysis), tapi tidak menutup kemungkinan penggunaan metode lain sepanjang mampu memberikan perhitungan dampak yang memadai sesuai dengan analisis yang diperlukan. Penentuan metode tentunya juga dipengaruhi oleh ruang lingkup masalah yang akan dicarikan solusinya, karena tentunya tidak ada satu tools yang cocok untuk semua.
BalasHapusPeraturan bisa jadi dua sisi, di sisi yang idealnya harusnya memang untuk menjaga efisiensi anggaran, tapi di sisi sebaliknya justru banyak inefisiensi karena banyaknya peraturan.
Itulah sebabnya RIA menjadi penting, karena pengukuran cost benefit dilakukan dari tahap perencanaan sampai dengan outcome, tidak parsial hanya di perencanaan, pelaksanaan, output ataupun outcome-nya saja.