Kubereskan buku-buku pelajaran
kelas enam SD yang berserakan di lemari anakku. Anakku sudah tidak mungkin lagi
memakainya karena dia sudah melewati masa Sekolah Dasar beberapa tahun yang
lalu.
“Assalamualaikum!” terdengar
salam dari depan pintu.
Kutatap jam di tanganku. Beberapa
saat lagi aku harus membimbing anak-anak sekitar rumahku belajar Bahasa
Inggris.
“Waalaikum salam!” jawabku sambil
membukakan pintu.
Daffa, seorang anak yang berumur
dua belas tahun berdiri di depan pintu. Senyuman tersungging di bibirnya.
“Tumben, kamu datang cepat,”
ujarku.
Daffa hanya tersenyum mendengar
perkataanku.
“Bukunya sudah saya bereskan,
Daffa. Kamu boleh memakainya. Belajar yang benar biar nilai ujianmu bagus, jadi
kamu bisa meneruskan sekolah tanpa biaya!” aku menasehati Daffa.
Saat ini Daffa duduk di bangku
kelas enam SD. Aku sengaja membereskan buku peninggalan anakku untuk diberikan
kepada Daffa.
“Tenang aja, pak!” ujar Daffa
sambil tersenyum simpul.
“Tenang bagaimana?”
“Hehehe.” Daffa hanya tertawa
kecil mendengar pertanyaanku.
Aku penasaran kenapa Daffa tak
menjawab pertanyaanku. Kupandangi wajah Daffa yang seolah memberiku teka-teki
yang tak terjawab.
“Daffa, jawab!” perintahku tak
sabar.
“Ada orang yang menawarkan kunci
jawaban untuk Ujian Nasional, pak. Saya dan beberapa teman ditawari untuk
membelinya. Harganya murah kok.” Terang Daffa.
Aku terdiam. Kupandangi wajah
Daffa yang masih berdiri di depan pintu. Perasaan kecewa menjalari pikiranku.
“Assalamualaikum!” ucapan salam
dari beberapa anak lainnya membuyarkan pikiranku.
“Waalaikum salam!” balasku.
“Daffa, percakapannya nanti kita
lanjutkan setelah belajar, ya!” ujarku.
Malam itu, aku tidak begitu
berkonsentrasi mengajar. Pikiranku tertuju pada Daffa. Aku berpikir bagaimana
caranya mayakinkan Daffa untuk tetap belajar.
“Siapa disini yang akan
menghadapi Ujian Nasional?” tiba-tiba terpikir olehku untuk membahas masalah
Daffa bersama anak-anak anggota kelompok belajar.
“Saya…saya!” dua orang anak
mengacungkan tangannya, termasuk juga Daffa.
“Berarti Daffa dan Putri akan
lulus SD tahun ini ya?”
Daffa dan Putri mengangguk.
“Kebetulan saya selesai
membereskan buku pelajaran kelas enam SD. Daffa dan Putri boleh menggunakan
buku-buku itu,” aku menunjuk ke arah tumpukan buku di lemari.
“Kalian belajar bersama, ya! Boleh
juga kalau kalian berdua mau belajar disini. Kalau ada yang tidak paham boleh
tanya ke saya.” Aku melanjutkan sambil menunggu reaksi Daffa dan Putri.
“Siap!” teriak Putri bersemangat.
“Daffa?” kupalingkan wajahku ke
arah Daffa.
“Iya, pak!” jawab Daffa perlahan.
Aku tersenyum dan melanjutkan
pelajaran Bahasa Inggris .
“Khusus Daffa, jangan dulu
pulang!” ujarku menutup pelajaran.
Teriakan gembira anak-anak
menutup pertemuan malam ini. Berebutan mereka meraih tanganku sampai aku
kewalahan. Terkadang aku menolak tangan mereka, agar mereka tidak saling
berebut.
“Daffa, kamu harus mulai belajar
ya untuk Ujian kamu!”
Daffa terdiam.
“Minta bantuan Putri atau saya
kalau ada pelajaran sulit. Saya akan menyisihkan waktu untuk membantu kamu. Kita
belajar bersama-sama!” lanjutku berusaha meyakinkan Daffa.
“Memang sih berat di awal. Waktu
main kamu berkurang, tapi semua orang hebat pasti mengalami kesulitan di awal.
Anggaplah belajar itu bermain. Bermain ke rumah saya.”
Kulihat Daffa mulai berpikir.
“Kalau kamu mau melupakan
pembelian kunci jawaban dan mulai berusaha belajar tekun, kamu adalah anak
hebat. Apapun hasilnya nanti,” lanjutku.
Kulihat Daffa sudah mulai
terpengaruh perkataanku. Walau diam, sepertinya dia mulai mencerna perkataanku.
“Sekarang kamu boleh pulang!
Pikirkan di rumah. Besok malam kembali ke sini. Kita mulai program belajar
kita!”
“Iya pak!” jawab Daffa.
Tanganku diraihnya dan dicium.
Daffa berlalu di kegelapan malam. Sejuta harapku besok dia kembali dengan
keyakinan meraih sukses dengan berusaha.
Semoga.
Depok, 6 Mei 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar