Jika suami saya menikmati buku
ini dari sudut pandang bahwa buku tersebut menyajikan review dan kritikan film
yang cerdas, maka saya menikmatinya dari sisi hubungan ayah dan anak yang
sangat romantis. Memang betul, setengah dari buku itu bercerita tentang
film-film terbaik dunia sampai yang terburuk sekalipun, akan tetapi
sebagian besar dari film-film itu adalah film lama (tahun 1930 – 1990) yang tak
pernah saya tonton. Agak sulit bagi saya untuk berimajinasi hanya dengan review
yang terpotong-potong. Akan tetapi satu hal yang bisa dipelajari dari kritikus
film seperti David Gilmour tersebut, bahwa film itu tidak bisa dipisahkan dari
sutradanya. Ketika mengingat atau menyebutkan satu film, maka jangan pernah
melupakan siapa sutradaranya. Seumpama mencicipi kue yang super enak, kau harus
tau siapa peraciknya, untuk dapat mencicipi kue selanjutnya yang kemungkinan
besar lebih enak atau sama enaknya.
Bagi
David Gilmour, The Godfather adalah film yang sangat memukau dan memiliki
pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan film dunia sampai saat ini, dan
Francis ford Coppola dan Marlon Brandon adalah sutradara dan aktor favoritnya.
Tetapi kita tidak akan membahas itu. Saya lebih terkesima dengan David Gilmour
atas cintanya kepada anaknya Jesse yang sangat elegan itu. Cinta yang
hanya dimiliki oleh orang tua kepada anak. Cinta yang tidak bisa dibandingkan dengan
hubungan percintaan dua sejoli yang paling romantis manapun. Cinta yang
mengakar di seluruh sel dan serabut pembulu darah. Cinta yang rela mengorbankan
apa saja, tanpa berharap balas jasa. Membaca tulisan ini membawa saya kembali
mengunjungi bilik-bilik memori saya, saat-saat masih tumbuh besar bersama orang
tua. Cinta mereka bisa sangat nyata tetapi sekali waktu bisa dalam bentuk
tangan-tangan tak terlihat. Dan kita, anak yang tidak tahu diuntung ini,
terkadang menerima itu sebagai kekangan yang menyesakkan. Ah, sungguh
memalukan.
Jesse, diusianya yang ke 15
tahun, menunjukkan gejala anti terhadap pendidikan formal atau sekolah.
Nilainya anjlok, setiap pagi ijin berangkat ke sekolah, nyatanya tidak sampai
di sekolah, atau hanya melewati sekolah, sekalinya sampai ke sekolah taunya
berbuat onar dan vandal. Gilmour tidak bisa tinggal diam, dia tidak bisa
memaksa anaknya terus mengikuti keinginannya untuk terus bersekolah seperti
anak-anak lain. Belajar harus tulus dari dalam hati, bukan karena terpaksa.
Akhirnya sampailan dia pada keputusan penting. Dia mengizinkan Jesse untuk
berhenti sekolah, selama Jessie mau menonton 3 film bersamanya setiap
minggu, dan tidak memakai kokain dan obat-obatan terlarang. Jesse hampir
tidak percaya dengan keputusan Bapaknya. Akan tetapi, apapun akan dia lakukan,
yang penting tidak sekolah.
Tidak mudah bagi Gilmour membuat
keputusan tersebut. Dia harus berdiskusi sengit dulu dengan ibunya Jesse sampai
bercucuran air mata. Gilmoaur tidak habis pikir dengan sikap mantan istrinya
tersebut yang tidak berani keluar dari mainstream. Sementara, dulu mereka
bertemu diacara anak punk, mantan istrinya itu bahkan merupakan vokalis band
punk. Punk identik dengan pemberontakan dan kebebasan. Lantas kenapa dia
menjadi begitu ketakutan sekarang.
Namun pada akhirnya, mereka
sepakat dengan keputusan Jesse berhenti sekolah. Ibunya Jesse meyakini, seorang
anak laki-laki lebih membutuhkan sentuhan didikan seorang bapak tanpa
mengurangi peran ibunya. Jalan Jessie masih panjang, banyak hal yang bisa
terjadi di depan sana.
Di saat yang bersamaan, pekerjaan
Gilmour mengalami masa paling kritis. Dari pembawa acara TV yang terkenal,
tiba-tiba tak ada satupun tawaran yang datang, tidak ada tawaran menulis
ataupun membuat film. Dia bahkan pernah melamar jadi Kurir, tapi ditolak karena
usianya sudah di atas 50 tahun. Yang paling ditakutkan oleh Gilmour adalah
keputusannya membiarkan Jesse berhenti sekolah salah. Dia takut telah mendorong
anaknya sendiri jatuh ke dalam sumur dalam dan gelap yang tidak ada jalan
keluarnya. Apalagi dirinya sekarang adalah seorang pengangguran. Harapannya
semoga keputusannya mengajak Jesse menonton minimal 3 film dalam seminggu
merupakan bentuk pendidikan lain yang bisa dia berikan kepada anaknya.
Sisi baiknya, Gilmaour jadi
banyak waktu untuk menghabiskan waktu bersama Jesse menonton film dan
mendiskusikannya. Hubungan mereka menjadi semakin intim. Tidak hanya berdiskusi
soal film, mereka bahkan membicarakan hal yang paling intim sekalipun, yang
biasanya hanya dibicarakan dengan teman saja tidak dengan orang tua. Jesse
menjadi sangat terbuka kepada Bapaknya. Gilmour membangun pola hubungan yang
equal, dia tidak ingin ditakuti oleh anaknya sendiri. Bagian yang manis adalah
saat Jesse putus cinta, kembali ke rumah dan menceritakannya kepada Bapaknya,
dengan lemah Jessi bertanya apakah dia kelihatan cengeng kalau menangis di
depan Bapaknya? Atau saat Jesse mengakui telah memakai kokain dan obat-obat
terlarang sampai mengalami hangover parah. Jesse mengakui tidak memiliki
kemampuan untuk berbohong kepada Bapaknya.
Setelah dua tahun berlalu tanpa
sekolah, Jessie memutuskan untuk bekerja paruh waktu. Mulai dari menjadi
marketing majalah pemadam kebakaran yang ternyata palsu, sampai menjadi tukang
cuci piring. Gilmour awalnya memandang sebelah mata niat anaknya, ah paling
bertahan beberapa lama. Tapi seperti yang terjadi pada kebanyakan orang tua,
ekspektasi terhadap anak yang sering salah. Gilmour berkata bahwa selalu ada
ruang dalam diri anak yang belum terjamah, kita para orang tua selalu merasa
paling mengenal anak sendiri, tapi nyatanya tidak. Jessie ternyata mampu
bertahan menjadi tukang cuci piring selama 6 minggu dan naik pangkat menjadi
anak magang di restoran. See, anak yang nakalnya minta ampun, tiba-tiba mau
melakukan pekerjaan seperti itu. Di restoran itulah dia bertemu dengan temannya
yang seorang rapper. Dan bakatnya menulis lagu tumbuh dari situ.
Bagian yang melankolis adalah
ketika Jessie pergi keluar kota, Gilmour tidak bisa menapikkan kegelisahan dan
kerinduanya kepada Jessie. Di tengah malam, dia mengendap-endap menuju kamar
Jessie dan memandangi seluruh sudut di dalam kamar, duduk di ranjang, dan
menyadari bahwa anaknya sudah tumbuh besar, sebentar lagi akan meninggalkannya.
“ketika
duduk di ranjang itu aku sadar bahwa dia tidak akan pernah kembali lagi sebagai
sosok yang sama. Mulai sekarang dia adalah tamu. Tetapi masa itu, masa tiga
tahun dalam kehidupan seorang pemuda dimana biasanya dia akan mulai mengunci
diri dari orang tuanya, sungguh merupakan sebuah anugerah tak teduga yang
menakjubkan dan langka”
Atau saat Jessie menelpon
bapaknya di tengah malam yang dingin ketika habis mengisap kokain dan
menanyakan “apakah Bapak masih menyayangiku? Aku sayang Bapak.” Ah masih adakah
percakapan seintim itu antara anak dan Bapak di zaman sekarang ini.
Jesse diusianya yang ke 20 (kalau
tidak salah) memutuskan untuk sekolah penyetaraan dan melanjutkan sekolahnya di
universitas, sepertinya dia mengambil jurusan sastra atau perfilman (dibukunya
tidak disebutkan dengan jelas). Jesse juga tumbuh menjadi kritikus film yang
jauh melebihi kemampuan bapaknya.
Buku ini mengisahkan satu
teladan, bagaimana seorang Bapak yang begitu sabar menghadapi anaknya, dan
mengantarkannya menantang dunia. Ini yang sering diabaikan oleh para orang tua,
memposisikan diri sebagai sosok yang selalu benar dan doyan mendikte, tanpa
berusaha menyelami pribadi dan kemauan anak.
Saya menyukai bagian ini “membesarkan
anak merupakan rangkaian ucapan selamat tinggal, satu per satu, kepada popok
–popok dan kemudian kepada jaket-jaket tebal dan akhirnya kepada anak itu
sendiri”.
Pernah dimuat di http://niarluthfi.blogspot.co.id
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Edisi : Soft Cover
ISBN : 9792277757
Tgl Penerbitan : 2011-12-00
Bahasa : Indonesia
Halama : 288
kalimat terakhir, menyentuh bgt. sangat berharap ketika mengucap 'selamat tinggal' ke anakku, dia sdh siap 'terbang' dengan 'sayap'nya. ��
BalasHapusAmiiiin YRA. Apalagi anak laki-laki yah mbak, biasanya pengen cepet mandiri.hehehe
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus