Jalani Nasib Seperti Kau Mengendarai Sepeda
Sudah banyak filosofi kehidupan dengan analogi bersepeda. Menurut saya ini sangat subyektif karena hanya orang2 yang suka bersepeda yang (kemungkinan) memahaminya. Sah-sah saja lah, toh yang hobi catur pun bisa membuat filosofi kehidupan dari hobinya. Atau hobi-hobi lainnya, bebas.
Salah satu filosofi hidup yang terkenal adalah quote dari Albert Einstein yang berbunyi "life is like riding bicycle, to keep balancing you have to keep moving" atau banyak lagi yang lainnya.
Sekarang saya ingin menambahkan filosofis subyektif: menjalankan nasib sama seperti menjalankan sepeda; cepat-lambat, berat-ringan, semua tergantung pada pikiranmu, tangan dan kakimu.
Tak sesederhana quote-nya Einstein memang, karena saya tak sejenius beliau, tapi percayalah, quote ini baru saya dapatkan ketika saya gowes pagi sampai siang tadi.
Sepeda modern, umumnya memiliki multi-speed yang dihasilkan dari kombinasi sprocket dan chainring. Untuk yang awam dengan istilah ini, sprocket adalah kumpulan gir yang dipasang di as roda belakang. Sedangkan chainring adalah gir yang tersambung ke pedal. Chainring dan sprocket dihubungkan dengan rantai. Chainring dan sprocket dikendalikan oleh shifter, semacam tuas yang dipasang di handlebar (setang).
Di awal-awal bersepeda, saya juga beranggapan komponen-komponen tersebut hanya untuk mengatur kecepatan. Tidak sepenuhnya salah, tapi ternyata filosofinya lebih dari sekedar itu.
Intinya bersepeda adalah bagaimana menjaga keseimbangan dan kestabilan sesuai kenyamanan kita. Ketika kenyamanan kita terganggu, misalnya akibat kontur jalan berubah (menanjak, menurun dsb) kita akan menyesuaikan kecepatan dengan mempercepat atau memperlambat putaran kaki, memindahkan posisi rantai di chainring dan sprocket dengan menggerakkan shifter, lebih menundukkan badan atau bahkan memutuskan turun dan menuntun sepeda kita.
Sama halnya dengan menjalani nasib. Kita menjalaninya dengan kenyamanan kita. Ketika suatu saat kenyamanan tersebut terganggu; perekonomian tiba-tiba memburuk atau bahkan tiba-tiba menjadi baik, secara otomatis pikiran kita, tangan dan kaki kita melakukan respon untuk menyesuaikan kenyamanan kita dengan situasi nasib yang berubah.
Tangan kita akan bekerja lebih keras, kaki kita akan melangkah lebih jauh, pikiran kita akan selalu mencari jalan untuk mempertahankan gerak tangan dan kaki sampai pada kenyamanan yang sama atau bahkan memutuskan untuk menyerah pada nasib.
Persis sama dengan bersepeda tadi. Jalani nasib seperti menjalankan sepeda. Ketika nasib merubah kenyamanan kita, kita sudah paham harus menurunkan atau menaikkan 'kecepatan' supaya kita dapat menjaga kestabilan hidup kita. Keberhasilan bersepeda juga sama dengan keberhasilan hidup, pikiran adalah kuncinya. Sekali kita berpikir tidak mampu, kita akan memilih turun dan menuntun sepeda daripada menggerakkan tangan dan kaki untul menstabilkan kecepatan. Sekali kita berpikir gagal dalam hidup, maka tubuh kita; tangan dan kaki kita, akan berhenti berusaha.
Rumit? Tidak juga, yang diperlukan hanya kesabaran dan ketekunan berlatih, semua akan terbiasa, otomatis.
Bagaimana kalau tidak suka bersepeda? Ya silahkan anda renungkan hobi anda masing-masing 😄.
ini poin nya: Sekali kita berpikir gagal dalam hidup, maka tubuh kita; tangan dan kaki kita, akan berhenti berusaha.
BalasHapusKeren, Mas!