“Bagaimana setiap rupiah yang dibelanjakan itu harus sedapat mungkin harus memiliki output/hasil dan dampak yang memberikan manfaat yang optimal serta berikan nilai tambah. Itu yang betul-betul kita inginkan,” (Prof. DR. Mardiasmo, Ak, MBA)
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) secara umum merupakan alat yang digunakan Pemerintah untuk mengatur penerimaan dan belanja negara dalam melaksanakan pemerintahan dan menjalankan pembangunan. Karena perannya yang sangat penting, Pemerintah sangat concern dengan APBN. Kinerja pemerintah sangat ditentukan oleh efektivitas Pemerintah menggunakan ‘alat’ tersebut, terutama mengatur belanja negara.
Mengatur belanja negara bukanlah hal yang mudah. Apabila dalam satu tahun Pemerintah “kurang’ belanja, kinerja Pemerintah akan disorot karena dapat diartikan ada output yang tidak tercapai. Pun ketika semua alokasi dibelanjakan, akan ada pertanyaan mengenai efektivitas belanja tersebut. Layaknya rumah tangga, mengatur belanja sangat ditentukan oleh penghasilan yang didapat. Semakin besar penghasilan akan semakin “memudahkan” belanja. Belanja pokok sudah pasti dapat dipenuhi dan masih bisa ditambah dengan pengeluaran-pengeluaran ekstra yang sifatnya tambahan. Karena sangat tergantung kepada penghasilan, meningkatkan penghasilan menjadi tujuan utama rumah tangga. Ketika penghasilan tidak dapat ditingkatkan, pilihannya hanya 2 (dua): mengurangi belanja atau berutang untuk menutup selisih antara penghasilan dan belanja.
Ilustrasi di atas juga terjadi pada APBN. Target penerimaan pajak yang tidak tercapai membuat Pemerintah harus mengurangi belanja atau melakukan pembiayaan (utang) bahkan bisa juga mengurangi belanja namun tetap berutang. Pilihan yang manapun akan memiliki dampak nasional; saat ini maupun masa mendatang.
Permasalahan besar dalam APBN adalah ketidakseimbangan antara Penerimaan dengan Belanja. Belanja negara mencerminkan prioritas-prioritas Pemerintah. Prioritas-prioritas tersebut terikat secara hukum, dalam artian semua belanja memiliki dasar hukum dan semuanya menjadi “on budget-on treasury”.
Program Tax Amnesty yang akan berakhir Maret 2017 dari sisi pelaksanaan diakui merupakan yang terbaik dibandingkan dengan program serupa di negara-negara lain. Namun dari sisi hasil yang diperoleh tampaknya masih perlu dievaluasi, terutama ketaatan wajib pajak non PNS/Anggota TNI-Polri yang hanya berhasil mencapai jumlah kurang lebih 700 ribu orang jika dibandingkan dengan jumlah penduduk maupun jumlah wajib pajak yang terdaftar.
Upaya meningkatkan penerimaan negara memang bukan hal yang mudah. Kecenderungan tidak tercapainya target penerimaan selalu ada dalam setiap tahun anggaran. Langkah ‘mudah’ untuk menyiasati hal ini adalah dengan mengurangi belanja. Mudah? Tentu tidak. APBN sudah terikat 20% untuk dana pendidikan; Dana Alokasi Umum (DAU) minimal 26% dari penerimaan netto; 5% untuk anggaran kesehatan dan Dana Alokasi Khusus (Aceh dan Papua) masing-masing 2% dari DAU nasional. Apakah hanya itu mandatory spending dalam APBN? Dari sudut pandang kewajiban penyediaan alokasinya: IYA, tetapi dari sudut pandang “mengikat”; semua alokasi belanja adalah “mandatory spending”. Yang terakhir ini penulis pahami sebagai semua pengeluaran yang dimandatkan oleh suatu peraturan.
Dalam kondisi seperti ini salah satu cara adalah dengan mengefisiensikan belanja, untuk menghaluskan kata “pemotongan”. Semua alokasi belanja diinventarisir untuk kemudian dilakukan “efisiensi”. Efektif? Berdasarkan pengalaman yang ada, efisiensi dapat menghasilkan penghematan yang “lumayan”. Lumayan? Iya, karena terus terang “ruang efisiensi” pemerintah sangat terbatas akibat proporsi Belanja Mengikat yang berkisar antara 70-80 persen.
Efisiensi tentunya harus menghasilkan penghematan yang signifikan, tidak hanya lumayan. Ketika kita memilih moda transportasi kereta api untuk berangkat ke kantor dari Bogor ke Jakarta, tentunya karena pilihan tersebut menghasilkan penghematan yang signifikan baik dari sisi waktu maupun rupiah. Kalau tidak, tentunya kita tidak akan mengorbankan kenyamanan hanya untuk penghematan yang “lumayan”.
Demikian pula halnya dengan Belanja Negara, perlu efisiensi yang menghasilkan dampak signifikan, sehingga tidak lagi harus diikuti dengan pembiayaan utang. Untuk hal ini penulis mempunyai 2 (dua) pendekatan: pertama, deregulasi kebijakan; kedua, reformasi mindset.
Deregulasi kebijakan
Mengingat semua alokasi memiliki dasar hukum yang merupakan operasionalisasi dari suatu kebijakan, maka perlu dilakukan review terhadap semua kebijakan-kebijakan yang tertuang dalam peraturan-peraturan yang mengikat dan menyebabkan pengeluaran pemerintah. Sepanjang tidak dilakukan deregulasi, semua peraturan yang ada masih memiliki “hak” alokasi dalam APBN. Deregulasi perlu dilakukan di semua tingkatan peraturan perundang-undangan. Regulatory Impact Analysis (RIA) perlu diimplementasikan dan dilakukan dengan cermat dengan tujuan awal deregulasi kebijakan. Berdasarkan pengalaman dari negara-negara lain, antara lain Australia, implementasi RIA berhasil menghemat jutaan dollar. Penghematan tersebut didapat dari penghapusan kebijakan yang sudah tidak efektif, tumpang tindih, nyata-nyata tidak efisien dan pengaturan ulang kebijakan sehingga memiliki dampak yang lebih baik terhadap anggaran negara. Bukan pekerjaan mudah, tapi jika tidak dilakukan kita tidak akan pernah tahu apakah pekerjaan tersebut sekedar sulit atau mustahil.
Reformasi mindset
Ketika beberapa tahun yang lalu ada kebijakan yang “membatasi” PNS menyelenggarakan rapat di hotel dan mengurangi kegiatan perjalanan dinas, langsung muncul reaksi dari industri perhotelan dan penerbangan. Kebijakan tersebut dianggap secara signifikan telah menurunkan “omset” mereka dan secara tidak langsung juga berdampak terhadap layanan pendukung jasa utama mereka. Kelesuan bisnis bahkan kerugian merupakan hal yang masuk akal ketika sebuah industri mengandalkan captive market lalu perubahan terjadi pada pasar tersebut. Lalu apakah pemerintah harus bertanggung jawab terhadap hal tersebut? Apakah pemerintah dapat dikatakan tidak menstimulasi ekonomi dengan belanja rapat dan perjalanan dinas?
Sah-sah saja apabila pemerintahan dijadikan pasar oleh bisnis perhotelan dan/atau biro perjalanan/maskapai penerbangan. Namun ketika pasar itu dijadikan satu-satunya atau pasar utama maka kesalahan terletak pada industri tersebut. Ketika penulis bekerja di hotel Hilton Adelaide pada tahun 2009-2010, penulis mendapati bahwa prosentase penghasilan terbesar hotel tersebut berasal dari Food and Beverages bukan dari tingkat hunian atau paket pertemuan. Apakah tidak ada rapat yang diselenggarakan pemerintah di hotel? Sangat sedikit bahkan hampir tidak ada. Dari pengalaman ini penulis berpendapat bahwa bisnis perhotelan atau biro perjalanan/maskapai penerbangan seharusnya memiliki pasar yang lebih luas dan menghindari membentuk captive market terutama apabila pasar tersebut sangat rentan dengan perubahan kebijakan pemerintah.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah dengan pembatasan rapat di hotel dan perjalanan dinas tersebut menyebabkan output-output yang ditetapkan tidak tercapai? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan pertanyaan juga: apakah output-output yang hendak dicapai tersebut telah ditetapkan dengan tepat?
Reformasi penganggaran tidak akan berhasil tanpa reformasi mindset. Dalam konteks keuangan negara, NKRI harga mati tidak akan terjadi jika Efisiensi bukan harga mati. Mindset seperti apa yang harus direformasi? Mindset yang mengharuskan ada honor di luar gaji/tunjangan dan remunerasi untuk setiap kegiatan, mindset yang mengharuskan ada snack dan makan siang dalam setiap rapat, mindset yang mewajibkan perjalanan dinas di jaman teleconference sudah sangat murah dan minim risiko.
Seberapa signifikan reformasi mindset snack dan makan siang rapat? Jika satu unit eselon II yang tidak terlalu besar dapat menghemat kurang lebih Rp1.800.000.000,- per tahun, secara kasar suatu Eselon I dengan 8 unit Eselon II dapat menghemat kurang lebih sebesar Rp14.400.000.000,- per tahun. Dapat dibayangkan penghematan dari sekian puluh Kementerian/Lembaga dengan ratusan unit Eselon I dan II.
Bagaimana melakukan reformasi mindset tersebut? Bisa dengan menghapus kebijakan-kebijakan terkait hal tersebut atau dengan contoh/role model. Menghapus kebijakan-kebijakan akan menimbulkan resistensi dan tingkat suffer yang tinggi. Butuh keberanian besar untuk melakukan tindakan yang sangat tidak populis tersebut. Salah satu cara yang “lembut” adalah dengan memberikan contoh/role model. Suatu perbuatan akan diikuti apabila dicontohkan dengan tepat dan terus menerus. Sudah merupakan sifat birokrasi bahwa apapun yang dilakukan atasan akan diikuti oleh bawahan. Ketika pimpinan suatu eselon I hobi sepak bola, hampir bisa dipastikan semua bawahannya akan bermain sepak bola, as simple as that. Di lingkungan Kementerian Keuangan, unit Center of Transformation Office (CTO) telah membiasakan untuk menghilangkan snack dan makan siang rapat. Suatu langkah permulaan yang bagus dan seharusnya memberikan “tekanan” kepada unit lain untuk melakukan hal yang sama.
Setiap kali ide ini terlontar, selalu ada komentar bahwa ide ini terlalu sederhana dan tidak akan berpengaruh banyak terhadap APBN. Mungkin ada benarnya, tapi kembali lagi: bagaimana kita dapat melakukan hal-hal yang besar apabila kita bahkan kita mulai melakukan hal-hal kecil dan sederhana?
Harusnya pernyataan Bapak Wakil Menteri Keuangan di awal tulisan ini menjadi pertanyaan kita setiap melaksanakan pekerjaan. Apakah setiap rupiah yang sudah kita habiskan/terima benar-benar dapat kita pertanggungjawabkan? Jika kita dapat menjawab Ya, maka dampaknya terhadap APBN tidak hanya lumayan atau signifikan tapi LUAR BIASA.
#tulisan ini juga dimuat di: https://ikoerba.wordpress.com/2017/03/12/efisiensi-harga-mati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar