Kahlil Gibran berkata dalam syairnya:
"Maukah kamu menjadi kekasihku?"
Sepenggal kalimat ini diucapkan Romi ditelingaku, suatu malam. Dan gemanya menyebar seperti darah mengalir ke arteri jantungku....perlahan-lahan hatiku diselimuti rasa hangat, sangat hangat,
sampai terasa naik dipipiku, terus naik sampai kedua kelopak mataku.
sampai terasa naik dipipiku, terus naik sampai kedua kelopak mataku.
"kenapa Juli, kamu menangiskah?" gugup Romi bertanya, melihat butiran bening mengalir melalui pipiku, begitu saja.
Romi tak perlu mengulangi pertanyaan itu, ketika kuangkat wajahku, dan dia melihat senyum di bibir dan mataku.
Tapi, itu dulu bertahun-tahun yang lalu....
Tahun dimana, hanya ada kata suka dalam pikiranku. Tahun penuh kenangan, dan angan merajut masa depan bersama.
Sebelum gelombang besar itu datang, dan menghancurkan segalanya.
Ketika suatu malam, Romi datang lagi, dengan kalimat terindah yang pernah kudengar dalam impianku.
"Masih inginkah kamu bersama denganku lagi?"
Kualihkan pandanganku dari tatap mata coklatnya, yang aku tahu dengan berlama melihatnya, hatiku akan luluh...
Ada perahu di kegelapan malam, terombang-ambing ombak yang bisa membalikkannya kapan saja, namun perahu itu masih tetap disana, dengan berpegang pada sebuah jangkar yang kuat.
"Juli...bagaimana...?? maukah, sudah lama kupendam perasan bersalah ini kepadamu, dan...sekarang aku tak sanggup lagi...aku ingin membagi kisah hidupku denganmu..." suaranya parau, tercekat.
kutekan kuat-kuat perasaan haru yang membuncah dalam hatiku.
"jika engkau masih memerlukan waktu...." tangannya mencari tanganku, yang dengan lembut kutarik...pelan..
"tak perlu, Romi..." suaraku serak menahan tangis. Dengan hati-hati, aku berkata,
"tak perlu kau memberiku sesuatu, yang engkau sendiri tak yakin dengan itu. Membagi hidup seperti apa yang ingin kau beri padaku? membagi sesuatu yang hanya semu. Tertawa, tapi dalam hati menangis. Semua hanya fatamorgana indah, yang membius diriku siang dan malam....seperti kunang-kunang yang mendekati cahaya, berharap cahaya itu bisa menghangatkannya, namun justru membakar dirinya. Bukan aku banyak menuntutmu, namun cinta memang butuh suatu kepastian, tak sekedar hanya menjalani tanpa tentu arah, seperti perahu yang tak tentu tujuan, yang pergi kemana saja gelombang menggerakkannya. Bilanglah aku seperti apa saja maumu, namun aku butuh kekuatan, Romi, kekuatan yang akan menjagaku dari gelombang besar yang bisa muncul kapan saja. Dan selama ini, aku merasa sudah menemukan kekuatanku kembali, walau tanpa kamu. walau tanpa siapapun di sisiku. Kujalani hidupku dengan kepasrahan. Aku masih tetap berdiri karena satu keyakinan, bahwa Tuhan akan menjagaku."
Romi terdiam, lama....
Suaranya lirih berkata, "kamu yakin...?"
aku memandang matanya, dan berkata
"Aku cukup yakin dengan keputusanku, Romi. Dan lagi...cinta yang dulu kupersembahkan kepadamu, hanya kepadamu...kini telah berganti menjadi doa tulus agar engkau menemukan kebahagiaanmu, dan bagiku itu telah cukup untuk membuatku selalu merasa dekat denganmu. "
Suara kerikil bekas injakan sepatu Romi yang berjalan tanpa menoleh lagi kepadaku, menjadi musik syahdu yang menentramkan, dan bulanpun tersenyum di belakang awan...
Sebelum gelombang besar itu datang, dan menghancurkan segalanya.
Ketika suatu malam, Romi datang lagi, dengan kalimat terindah yang pernah kudengar dalam impianku.
"Masih inginkah kamu bersama denganku lagi?"
Kualihkan pandanganku dari tatap mata coklatnya, yang aku tahu dengan berlama melihatnya, hatiku akan luluh...
Ada perahu di kegelapan malam, terombang-ambing ombak yang bisa membalikkannya kapan saja, namun perahu itu masih tetap disana, dengan berpegang pada sebuah jangkar yang kuat.
"Juli...bagaimana...?? maukah, sudah lama kupendam perasan bersalah ini kepadamu, dan...sekarang aku tak sanggup lagi...aku ingin membagi kisah hidupku denganmu..." suaranya parau, tercekat.
kutekan kuat-kuat perasaan haru yang membuncah dalam hatiku.
"jika engkau masih memerlukan waktu...." tangannya mencari tanganku, yang dengan lembut kutarik...pelan..
"tak perlu, Romi..." suaraku serak menahan tangis. Dengan hati-hati, aku berkata,
"tak perlu kau memberiku sesuatu, yang engkau sendiri tak yakin dengan itu. Membagi hidup seperti apa yang ingin kau beri padaku? membagi sesuatu yang hanya semu. Tertawa, tapi dalam hati menangis. Semua hanya fatamorgana indah, yang membius diriku siang dan malam....seperti kunang-kunang yang mendekati cahaya, berharap cahaya itu bisa menghangatkannya, namun justru membakar dirinya. Bukan aku banyak menuntutmu, namun cinta memang butuh suatu kepastian, tak sekedar hanya menjalani tanpa tentu arah, seperti perahu yang tak tentu tujuan, yang pergi kemana saja gelombang menggerakkannya. Bilanglah aku seperti apa saja maumu, namun aku butuh kekuatan, Romi, kekuatan yang akan menjagaku dari gelombang besar yang bisa muncul kapan saja. Dan selama ini, aku merasa sudah menemukan kekuatanku kembali, walau tanpa kamu. walau tanpa siapapun di sisiku. Kujalani hidupku dengan kepasrahan. Aku masih tetap berdiri karena satu keyakinan, bahwa Tuhan akan menjagaku."
Romi terdiam, lama....
Suaranya lirih berkata, "kamu yakin...?"
aku memandang matanya, dan berkata
"Aku cukup yakin dengan keputusanku, Romi. Dan lagi...cinta yang dulu kupersembahkan kepadamu, hanya kepadamu...kini telah berganti menjadi doa tulus agar engkau menemukan kebahagiaanmu, dan bagiku itu telah cukup untuk membuatku selalu merasa dekat denganmu. "
Suara kerikil bekas injakan sepatu Romi yang berjalan tanpa menoleh lagi kepadaku, menjadi musik syahdu yang menentramkan, dan bulanpun tersenyum di belakang awan...
Ah Romi, andai saja engkau tahu, begitu lamanya kunanti kembali pertanyaan itu...
di dalam setiap hariku, dalam setiap terbangunnya beberapa malamku karena didera rindu, dan di permukaan beludru sajadahku yang penuh dengan air mata penyesalan, andai saja engkau tahu semua itu...
Kurasa Romi tak butuh kata-kata, Romi hanya butuh kerelaanku untuk berada di sisinya. Romi tak tahu, bahwa dengan berada disana, aku akan berperang dengan harapan semu semata.
Segalanya tak selalu bisa berjalan dengan baik, Romi.
Kadang kita selalu dihadapkan pada pilihan yang sama-sama sulit, ibarat memakan buah simalakama. Dimakan salah, tidak dimakanpun salah juga.
Dan pilihan itu, membawa kosekuensi panjang bagi hidup kita.
Konsekuensi yang hanya kita sendiri yang bisa merasakannya. Tak perlu orang lain harus tahu segalanya.
Cinta, seringkali dianggap orang sebagai sesuatu yang indah. Penuh nuansa warna-warni, penuh romansa yang terkadang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata.
Tapi buatku cinta juga membutuhkan suatu pengorbanan, yang luar biasa besarnya. Yang harus siap kita persembahkan kapan saja, tidak hanya berjalan tanpa komitmen apa-apa. dan kurasa Romi, kamu belum siap untuk itu.
Terima kasih atas segala kenangan indah bersamamu, dan terima kasih pula atas segala perih yang mungkin bisa mendewasakanku.
-Pinggir laut, 2016-
Terima kasih atas segala kenangan indah bersamamu, dan terima kasih pula atas segala perih yang mungkin bisa mendewasakanku.
-Pinggir laut, 2016-
(NB: bukan kisah nyata, semua tokoh, kejadian dan tempat hanya rekaan pengarang yang lagi belajar menulis fiksi)
Sukak,,
BalasHapusMakasih Nana...
BalasHapusSebenarnya saya ngga ngerti cerpen ini ... sebab saya ngga tahu maunya Juli apa dan kenapa sampai berpisah dengan Romi. Apakah semua roman harus selalu sedih begini? Ihiks ...
BalasHapus