Coba perhatikan rumah kita, komplek atau cluster perumahan kita, seberapa banyak kita menemukan pohon dan rerumputan di sana?. Masih seringkah kita mendengar suara burung berkicau yang hinggap di ranting-ranting pohon seputar tempat tinggal kita? Alhamdulillah kalau masih banyak hijau-hijaunya, kalau masih ada suara burungnya. Mungkin ada yang berpendapat wajar karena kita kan hidup di Ibukota ataupun pinggiran kota yang terimbas pesatnya pembangunan Ibukota. Kalau mau lihat hijau-hijau atau mau mendengar suara burung berkicau, ya pergilah ke desa.
Apakah Ibukota tidak boleh hijau? tidak butuh pohon, rumput dan tanaman lainnya? tidak boleh ada burung yang bebas beterbangan dan berkicau. Apa semua lahan harus jadi bangunan beton? Apa 'menghijaukan' mata dengan rupiah lebih penting hingga menenggelamkan warga?.
Apresiasi yang tinggi patut diberikan kepada pengembang yang tetap mempertahankan ruang terbuka hijau (RTH) di lahan-lahannya. Tapi itu tidak banyak. Lebih banyak yang memilih memanfaatkan lahan sisa untuk membangun rumah toko (ruko) daripada membuat taman. Bangunan rumah pun saat ini hanya sedikit menyisakan lahan untuk serapan. Semua lahan yang ada dihabiskan untuk bangunan. Dinding menempel dinding. Tidak tersisa. Akibatnya sudah bisa diterka. Saat hujan air mulai menggenang. Daerah yang dulunya aman dari banjir, pelan-pelan menjadi langganan banjir.
Apakah para pengembang itu lupa, mereka juga punya anak-cucu-cicit yang akan hidup lebih lama? Apakah mereka masih kurang kaya sehingga tanah sejengkal pun harus jadi rupiah? Apakah mereka kurang melihat dunia sehingga tak tertarik melihat taman-taman luas dan hijau di Amerika, Eropah, Australia dan lainnya?
Tentunya tidak, mereka adalah orang-orang berpendidikan, yang tahu tentang pentingnya RTH bagi kehidupan.
Apakah ini semua salah mereka?. Yang pertama harus dilihat adalah aturan yang ada dan penegakkannya. Apabila tidak ada aturannya, maka Pemerintah harus hadir disana. Jika sudah ada, maka harus tegas penegakkannya. Dengan kondisi saat ini, semua itu tidaklah mudah. Dibutuhkan tidak saja seperangkat aturan, tapi juga orang-orang kuat yang mampu menegakkannya. Sudah rahasia umum bahwa kasus korupsi banyak berasal dari sistem perijinan dan pengadaan.
Yang kedua, memang harus ada perubahan pola pikir dan sikap bangsa ini. Ketika kekayaan dijadikan ukuran utama kesuksesan, maka nilai-nilai kebaikan lainnya akan terabaikan. Tidak ada larangan menjadi kaya, pun tidak ada syarat harus pintar untuk itu. Tapi alangkah indahnya kalau kekayaan tersebut diikuti oleh kepintaran, kecerdasan dan kepedulian terhadap sesama.
Yang terakhir, kebutuhan akan RTH harus menjadi kebutuhan utama warga, harus menjadi syarat utama suatu lokasi hunian baru. Menjadikan RTH sebagai kebutuhan/syarat utama diharapkan dapat memberikan 'tekanan' kepada pengembang untuk menyediakannya. Dapat juga dijadikan bagian tanggung jawab sosial perusahaan, sehingga corporate social responsibility tidak hanya dilambangkan dengan sumbangan sembako atau pembangunan tempat-tempat ibadah, tapi juga diukur dari seberapa banyak RTH yang diciptakan oleh perusahaan tersebut.
Solusi individu tidak akan menyeluruh, butuh kesadaran yang masif dan didukung oleh semua unsur bangsa. Kerugian mungkin tidak akan banyak terjadi saat ini, tapi 50-100 tahun lagi anak-cucu-cicit kita mungkin hanya mengenal pohon, rumput, tanaman dan mendengar suara burung dari gadget mereka. Kita mungkin sudah ada di bawah tanah dengan lantai beton di atasnya. Tidak merasakan apa-apa tapi akan tetap mempertanggungjawabkan perbuatan kita.
Sumber: https://ikoerba.wordpress.com/2017/03/27/hijaukan-mata-tenggelamkan-warga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar