Ada isak lirih namun masih cukup terdengar di situasi hiruk pikuk pada hari yang dicemas-cemaskan, hari yang dinantikan untuk sebuah kabar kepastian penempatan menyusul tuntasnya masa pendidikan selama tiga tahun terakhir ini.
"Yang sabar mas, banyak temannya kok," hiburku kepada teman yang sejak dibacakan nama-nama beserta kota penempatannya langsung memutar kursi, membalikkan badan, meluapkan sesuatu untuk beban yang datangnya sangat tiba-tiba.
Jawabannya hanya terlihat sebagai mata yang berkaca-kaca tanpa sepatah kata apapun. Aku harus mengalihkan ke hal lain sebelum tahu pernyataanku betul-betul menambah kerisauan yang menimpanya.
Pasti ada sesuatu yang tidak sekedar jarak kota penempatan yang jauh, disebabkan teman-teman lain yang setempatan kotanya terlihat baik-baik saja, bahkan masih bisa menyelipkan canda di tengah kegalauan sebagian besar para alumni yang memang sejak awal perkuliahan sudah diwanti-wanti harus siap untuk ditugaskan di mana saja. Tetapi pada hari pengumuman, tetap saja menjadi sesuatu yang tidak mudah diterima. Merantau ke tempat asing yang jauh untuk sebuah tugas yang belum tahu kapan ujungnya, bagi sebagian orang sangat menakutkan.
Apa yang aku rasakan sebetulnya juga tidak kalah hebatnya, ketika secara pelan-pelan aku eja nama kota yang mau tidak mau aku harus akrab dengannya untuk waktu entah berapa lama. Ujung Pandang.
Sepuluh orang akan menjadi teman seperantauan di kota yang sama dan hanya satu orang yang ditugaskan di kantor yang berbeda denganku.
Aku sendiri merasa belum perlu menumpahkan perasaanku di sini, harus aku simpan untuk aku bagikan di rumah nanti. Sejak hari aku menerima limpahan keseluruhan tanggung jawab seorang gadis yang akan menemani suka dukaku dari jarak yang paling dekat dibanding siapapun, aku merasa harus membagi setiap ada sesuatu yang menimpaku. Entah ini kabar gembira atau sebaliknya, aku sudah tidak sabar untuk pulang ke rumah.
Ya, aku menikah sebelum tahu harus pergi ke tempat yang belum pernah dan bahkan tidak sedikitpun terbayang akan ke sana. Tempat yang asing.
***
“Bener nih satu porsi ?” tanyaku kepada teman-teman ketika menerima sepiring nasi goreng dengan porsi yang sangat tidak biasa bahkan terlihat dua kali lipat dari yang biasa aku temui selama kuliah di Jakarta. Ini kekagetan di malam pertama memulai perantauanku di Ujung Pandang, makan malam paling kenyang sepanjang sejarah.
Aku dan teman-teman diperbolehkan menempati rumah dinas pejabat untuk sementara agar ada cukup waktu mencari rumah kontrakan atau kosan yang sesuai keinginan masing-masing. Ini adalah sambutan yang sangat indah sekaligus semakin menguatkan keyakinanku bahwa di setiap tempat pasti banyak orang baik yang akan membantu tanpa mengharapkan balasan apa-apa.
“Istri kok belum ikut ?” tanya salah seorang teman di tengah-tengah penyusunan jadwal masak menyusul keputusan aklamasi bahwa atas dasar pertimbangan penghematan maka untuk urusan makan lebih baik dilakukan dengan memasak sendiri, terutama untuk sarapan pagi dan makan malam, dua waktu makan yang paling merepotkan kalau kita harus jauh-jauh keluar rumah, sementara seluk beluk kota baruku ini masih jauh dari kata tahu.
“Masih menyelesaikan tugas akhir, mudah-mudahan empat bulan dari sekarang akan segera menyusul ke sini.” Aku tidak tahu apakah jawaban ini sampai selesai aku ucapkan atau tidak. Ada cekat yang menghalangi suara di tenggorokanku. Berpisah setelah beberapa hari bersama pada awal-awal pernikahan tentu bukan keputusan yang mudah. Dan keyakinanku mengatakan apa yang dirasakan istriku sama beratnya dengan yang aku rasakan saat ini. Aku jadi rindu istriku.
Sayup-sayup suara sekeliling semakin tak terdengar bersama lelapnya aku di istirahat malam ini.
***
"Kamu ke tempat Bu Neni ya," jelas Pak Robert, pria berkacamata penuh wibawa yang belakangan aku ketahui sebagai kepala seksiku, dengan sangat ramah sambil mengajak ke bagian di mana aku ditempatkan. Bu Neni, perempuan paruh baya yang murah senyum ini juga tak kalah ramah menerimaku. Keramahan Pak Robert dan Bu Neny, dua atasanku ini sudah cukup menjadi alasan bahwa aku akan menikmati suasana bekerja yang menyenangkan. Ini hari pertamaku bekerja setelah sekian tahun bergelut bersama buku-buku dengan segala keindahan teorinya.
“Sejak lima bulan yang lalu.” Bu Neni buru-buru memberi tahu setelah aku memperhatikan banyak tumpukan dokumen pembayaran yang belum diverifikasi, masih dalam ikatan tali setengah rapi. Penjelasan ini menjawab sebagian rasa ingin tahuku sebelumnya, mengapa harus sepuluh orang yang ditugaskan dalam satu kantor, sementara di tempat lain cukup dua atau tiga saja bahkan satu orang.
Kami bersepuluh seperti membawa misi khusus untuk menuntaskan sesuatu yang lama terbengkalai. Sambutan yang hangat semakin menguatkan mental dan keyakinanku bahwa aku akan betah di sini, ditambah lagi dengan tak segan-segannya para pegawai memberitahu cara kami harus bekerja. Keragaman lingkungan dari segi usia, suku dan keyakinan sama sekali tidak mengurangi rasa nyaman untuk saling membantu dan menghargai. Ini laboratorium kehidupan yang ideal yang akan menempaku menjadi lebih tangguh dan dewasa.
Hari-hari yang aku lewati terasa seperti tidak ada kendala yang berarti. Kesibukan di kantor dan keceriaan di rumah bersama teman-teman menjadi pengalih perhatian paling sukses agar aku tidak berlarut-larut dalam kesedihan dan kerinduan pada istriku. Empat bulan yang berlalu aku merasakan diriku belum sepenuh seperti biasanya. Separuh jiwaku masih tertinggal. Dan perasaan ini semakin menjadi-jadi menjelang hari di mana aku harus menjemputnya.
***
Aku sudah di bandara beberapa jam sebelum perkiraan waktu kedatangan penerbangan yang membawa penggalan setengah jiwaku. Sudah aku buang jauh-jauh sesuatu yang aku kenal sebagai kesabaran. Tepat pada saat yang ditunggu-tunggu, tidaklah sulit untuk mengenali sesosok beraut ceria penuh kerinduan menghampiriku. Luapan kebahagiaan pada siang ini berujung pada tangis penuh haru. Ya Tuhan, terima kasih sudah mengumpulkan kami kembali.
Tidak ada pilihan lain kecuali aku harus memisahkan diri dari teman-teman untuk kemudian menyewa rumah kontrakan sederhana di pinggiran kota yang berjarak kurang lebih setengah jam perjalanan menuju kantor.
Dan sebentar lagi rumah itu akan menjadi saksi peresmian bertemunya pecahan-pecahan diri menjadi sesuatu yang sempurna. Rindu-rindu kami telah menemukan muaranya.
***
Pagi ini, sebagaimana biasa sejak ada istriku, aku berangkat ke kantor dengan suasana penuh keceriaan. Ucapan pamitku yang dibalas senyum indah dengan pesan untuk hati-hati menjadi bahan bakar penyemangat yang baru.
Di dalam angkutan umum sepanjang perjalanan, aku hanya ditemani lamunan betapa indahnya makan malam berdua nanti. Beruntung tidak ada kaca yang mampu memantulkan semua bayangan di depannya, sehingga aku terbebas dari rasa malu atas ulahku, tersenyum-senyum sendiri.
Sesampai di kantor, seperti biasa aku berusaha menyapa siapa saja dengan ramah. Yang selalu menjadi harapanku adalah bahwa kehadiranku harus membuat semua orang merasa senyaman mungkin. Aku tidak mau ada orang yang sedih, tersinggung, dan bahkan marah disebabkan oleh sesuatu yang aku lakukan.
Sebelum aku duduk, pandanganku dipaksa untuk tertuju pada map merah mencolok yang ada di mejaku. Aku merasa ada yang sengaja meninggalkan map merah ini sebelum kemudian Bu Neni dengan senyum khasnya meyakinkan kebenaran dugaanku tadi. “Tinggal kamu yang belum”.
“Belum apa Bu?” sesuatu yang aku perlu tahu karena ucapan yang tidak utuh itu. Belum sempat aku mendapatkan jawaban, Bu Neni memberi isyarat aku untuk membuka map merah ini.
Penglihatanku tak sulit untuk segera tertuju pada ruang kosong pada kolom tanda tangan tepat di sebelah kanan namaku yang diketik dengan rapi. Ternyata aku belum tanda tangan, batinku sekaligus menjawab sendiri pertanyaanku tadi, sambil melihat-lihat lembaran berikutnya yang tidak berbeda dari yang pertama kecuali hanya hari dan tanggal saja.
Tiba-tiba hatiku merasa terusik ketika mengetahui rupanya ini daftar hadir untuk sesuatu yang tidak aku lakukan. Mungkin ini yang dikatakan orang-orang bahwa di dunia kerja akan banyak tantangan yang tidak pernah ada di bangku kuliah. Aku seperti di persimpangan jalan, belum tahu harus memilih jalan yang mana. Tetap menandatangani atau tidak. Hatiku seperti berbisik, “menandatangani adalah pilihan paling sulit untuk diterima nurani,” tetapi tidak menandatangani juga bukan perkara yang mudah dipahami oleh teman-teman lainnya. Menuruti hatiku atau menjaga hati teman-teman kantorku, dua hal yang sedang bertarung berebut pengaruh untuk dipilih sebagai keputusan akhirku.
“Apakah boleh tidak tanda tangan Bu?” tanyaku bernada meminta kepada Bu Neni. Hal ini perlu aku sampaikan dengan hati-hati, khawatir muncul prasangka beragam atas alasan dari sikapku ini. Dari mulai sok suci atau sudah tidak butuh uang lagi atau yang lain.
“Ya, nanti saya sampaikan ke Pak Robert,” jawaban Bu Neni ini menghapus bersih kerisauanku. Masalah selesai, pikirku.
Beberapa menit sebelum waktunya pulang, aku diminta menghadap Pak Robert yang dari sejak aku masuk ke ruangannya map merah tidak terlepas dari genggamannya. Aku hanya menunggu apa yang akan disampaikan, tanpa harus bersusah payah menebak-nebak yang akan terjadi.
“Kenapa tidak mau tanda tangan?” tanya Pak Robert datar. Aku masih diam saja karena merasa kesulitan menyampaikan alasan yang sebenarnya.
“Kalian sudah bekerja keras menyelesaikan pekerjaan yang lama terbengkalai, dan ini bentuk perhatian kami kepada kalian.” Sebuah penjelasan yang masuk akal, tapi belum cukup untuk memberikan ketenangan hatiku.
“Tidak tanda tangan tidak apa-apa kan pak?” tanyaku menyusul ucapan rasa terima kasih tak terbilang atas perhatian dan penghargaan yang diberikan. Kalimat ini aku ucapkan dengan sangat hati-hati, supaya tidak ada kesan meninggikan diri atau sesuatu yang disalahpahmi sebagai kesan tidak baik lainnya dengan sambil tetap menjaga raut muka senyum tanda menaruh hormat kepadanya.
Mungkin merasa jawabanku tidak memuaskan, Pak Robert berdiri lalu membanting pelan map merah sambil berkata dengan suara agak meninggi, “Saya tidak mau tahu, harus tanda tangan!” Pak Robert bergegas keluar ruangan sementara aku masih diliputi perasaan campur aduk tidak karuan. Ada rasa bersalah karena sudah membuat atasanku marah, ada rasa tidak tenang untuk sesuatu yang hatiku tidak bisa menerimanya. Di waktu sempit ini, aku seperti dipaksa untuk tidak punya pilihan lain kecuali harus menuruti perintah atasanku. Sore ini aku pulang ditemani sesuatu yang sangat membebani pikiranku. Perjalanan pulangku menjadi terasa sangat jauh.
***
Sejak peristiwa aku menandatangani isi map merah itu, aku tak pernah benar-benar merasa tenang. Bahkan uang yang harus aku terima masih aku simpan rapi, belum terpikirkan akan digunakan untuk hal apapun, sambil mencari cara yang bisa aku lakukan untuk menebus ketidaknyataan dalam daftar itu.
Pernah aku coba untuk pulang lebih lambat selama kurun waktu yang tertuang dalam daftar itu, namun upaya ini tidak bertahan lama. Aku merasa bersalah kepada Pak Alex, petugas yang membuka dan mengunci kantor, yang harus menungguku menyelesaikan misi tebusanku. Pekerjaan kantor memang selalu ada, tetapi melakukan sesuatu dengan membebani orang lain bukan pilihan yang bijak, pikirku.
Aku masih merasa belum tenang, sampai pada keputusanku untuk membawa pekerjaan kantor ke rumah, sebagai pembuktian bahwa apa yang ada dalam daftar itu betul-betul aku lakukan. Kelihatannya ini agak rumit, namun ini cara yang menurutku paling membuatku tenang. Ini bukanlah yang ideal, tidak sebagaimana yang seharusnya aku sudah tolak dari sejak awal. Aku lemah dari sisi ini, tapi aku masih bersyukur diberi perasaan yang tidak pernah tenang untuk hal yang mengganggu pikiran ini.
“Ini mas, mumpung masih hangat,” istriku sambil menyodorkan cangkir berisi teh yang khusus dibawa dari kampung halaman, sementara aku masih mencari satu per satu angka yang menyebabkan selisih antara penjumlahan oleh aplikasi komputer dan penjumlahan oleh mesin struk yang sepenuhnya dilakukan secara manual. Dalam beberapa malam ini, aku memarng selalu ditemani istriku, manusia yang dikirim Tuhan membantuku mendapatkan ketenangan dengan caraku sendiri.
***
Siang ini, di sela-sela waktu istirahat aku menyempatkan untuk mengunjungi salah satu teman yang aku kenal di tempat kerja yang tidak jauh dari kantorku, namanya Tegar. Meski membicarakan hal-hal ringan, tetapi hampir selalu terasa menarik selama aku berteman dengan dia. Ada kertas lusuh yang terlipat tak rapi di meja Tegar. Aku pikir tak ada salahnya untuk membuka lipatan dan mengetahui isinya sebelum aku buang ke tempat sampah. Rupanya kertas itu adalah bukti setor salah satu bank pemerintah yang tak jauh dari kantorku. “Penerimaan lainnya.” Itu bunyi tulisan yang aku baca di bukti setor itu.
“Ini punya siapa mas?” selidikku.
“Tidak tahu,” Tegar menjawab sekenanya. Tetapi aku yakin dialah pemiliknya, aku sudah mengenal dengan baik tulisan tangannya yang sekarang ada di bukti setor itu.
Aku tahu Tegar tidak mau menerima segala jenis uang yang tak jelas terdefinisikan. Tetapi ketika uang yang sudah terlanjur atau terpaksa dia terimapun akan disetor ke kas negara, ini yang aku baru tahu dengan mata kepalaku sendiri. Aku beruntung memiliki teman yang sanggup berjuang untuk sesuatu yang membuat lebih tenang. Ya, dia memang setegar namanya.
***
Pertemuanku dengan Tegar siang ini, betul-betul menjadi pelajaran yang paling berharga yang pernah aku temukan sepanjang pengalaman bekerjaku. Meski yang aku lakukan masih jauh dari apa yang dilakukan Tegar, tetapi setidaknya aku punya teman untuk sebuah perjuangan yang berawal dari bagaimana menjadi pendengar yang baik ketika nurani sedang menyampaikan pendapatnya. Mintalah fatwa kepada hatimu, begitu kira-kira pesan yang pernah aku dengar dan aku bisa merasakan langsung sekarang ini. Kekhawatiranku tentu ketika hatiku sudah tak sanggup menangkap sinyal-sinyal peringatan dari Tuhan. Ini musibah yang paling takutkan, hilangnya kepekaan hatiku.
Ini adalah perjuangan dalam sepi, karena hanya diri kita yang tahu dan merasakan gejolaknya. Tegar hanya satu dari sekian banyak orang yang mampu membentengi diri dengan nurani hatinya. Para pejuang seperti ini tidak pernah menghiraukan apapun karena mereka akan tetap melakukan sesuatu yang berharga meski tidak di atas panggung-panggung yang akan dilihat banyak orang.
Aku yakin pasti banyak pejuang yang serupa ini, tetapi tetap saja jika gejolak datang, akan terasa sepi, seperti merasa sendiri, sesuatu yang harus aku lawan semampu yang aku bisa. Aku berjalan pulang dengan dihantui rasa khawatir dan penuh harap, sambil lirih berucap, "Ya Tuhanku, aku tidak mau jauh-jauh dari hatiku"
Tamat
***
Oleh: JoRay