Pejuang Dalam Sepi

Ada isak lirih namun masih cukup terdengar di situasi hiruk pikuk pada hari yang dicemas-cemaskan, hari yang dinantikan untuk sebuah kabar kepastian penempatan menyusul tuntasnya masa pendidikan selama tiga tahun terakhir ini.

"Yang sabar mas, banyak temannya kok," hiburku kepada teman yang sejak dibacakan nama-nama beserta kota penempatannya langsung memutar kursi, membalikkan badan, meluapkan sesuatu untuk beban yang datangnya sangat tiba-tiba.

Jawabannya hanya terlihat sebagai mata yang berkaca-kaca tanpa sepatah kata apapun. Aku harus mengalihkan ke hal lain sebelum tahu pernyataanku betul-betul menambah kerisauan yang menimpanya.
Pasti ada sesuatu yang tidak sekedar jarak kota penempatan yang jauh, disebabkan teman-teman lain yang setempatan kotanya terlihat baik-baik saja, bahkan masih bisa menyelipkan canda di tengah kegalauan sebagian besar para alumni yang memang sejak awal perkuliahan sudah diwanti-wanti harus siap untuk ditugaskan di mana saja. Tetapi pada hari pengumuman, tetap saja menjadi sesuatu yang tidak mudah diterima. Merantau ke tempat asing yang jauh untuk sebuah tugas yang belum tahu kapan ujungnya, bagi sebagian orang sangat menakutkan.

Apa yang aku rasakan sebetulnya juga tidak kalah hebatnya, ketika secara pelan-pelan aku eja nama kota yang mau tidak mau aku harus akrab dengannya untuk waktu entah berapa lama. Ujung Pandang.

Sepuluh orang akan menjadi teman seperantauan di kota yang sama dan hanya satu orang yang ditugaskan di kantor yang berbeda denganku.
Aku sendiri merasa belum perlu menumpahkan perasaanku di sini, harus aku simpan untuk aku bagikan di rumah nanti. Sejak hari aku menerima limpahan keseluruhan tanggung jawab seorang gadis yang akan menemani suka dukaku dari jarak yang paling dekat dibanding siapapun, aku merasa harus membagi setiap ada sesuatu yang menimpaku. Entah ini kabar gembira atau sebaliknya, aku sudah tidak sabar untuk pulang ke rumah.
Ya, aku menikah sebelum tahu harus pergi ke tempat yang belum pernah dan bahkan tidak sedikitpun terbayang akan ke sana. Tempat yang asing. 

***

“Bener nih satu porsi ?” tanyaku kepada teman-teman ketika menerima sepiring nasi goreng dengan porsi yang sangat tidak biasa bahkan terlihat dua kali lipat dari yang biasa aku temui selama kuliah di Jakarta. Ini kekagetan di malam pertama memulai perantauanku di Ujung Pandang, makan malam paling kenyang sepanjang sejarah.

Aku dan teman-teman diperbolehkan menempati rumah dinas pejabat untuk sementara agar ada cukup waktu mencari rumah kontrakan atau kosan yang sesuai keinginan masing-masing. Ini adalah sambutan yang sangat indah sekaligus semakin menguatkan keyakinanku bahwa di setiap tempat pasti banyak orang baik yang akan membantu tanpa mengharapkan balasan apa-apa.

“Istri kok belum ikut ?” tanya salah seorang teman di tengah-tengah penyusunan jadwal masak menyusul keputusan aklamasi bahwa atas dasar pertimbangan penghematan maka untuk urusan makan lebih baik dilakukan dengan memasak sendiri, terutama untuk sarapan pagi dan makan malam, dua waktu makan yang paling merepotkan kalau kita harus jauh-jauh keluar rumah, sementara seluk beluk kota baruku ini masih jauh dari kata tahu.

“Masih menyelesaikan tugas akhir, mudah-mudahan empat bulan dari sekarang akan segera menyusul ke sini.” Aku tidak tahu apakah jawaban ini sampai selesai aku ucapkan atau tidak. Ada cekat yang menghalangi suara di tenggorokanku. Berpisah setelah beberapa hari bersama pada awal-awal pernikahan tentu bukan keputusan yang mudah. Dan keyakinanku mengatakan apa yang dirasakan istriku sama beratnya dengan yang aku rasakan saat ini. Aku jadi rindu istriku.
Sayup-sayup suara sekeliling semakin tak terdengar bersama lelapnya aku di istirahat malam ini.

***

"Kamu ke tempat Bu Neni ya," jelas Pak Robert, pria berkacamata penuh wibawa yang belakangan aku ketahui sebagai kepala seksiku, dengan sangat ramah sambil mengajak ke bagian di mana aku ditempatkan. Bu Neni, perempuan paruh baya yang murah senyum ini juga tak kalah ramah menerimaku. Keramahan Pak Robert dan Bu Neny, dua atasanku ini sudah cukup menjadi alasan bahwa aku akan menikmati suasana bekerja yang menyenangkan. Ini hari pertamaku bekerja setelah sekian tahun bergelut bersama buku-buku dengan segala keindahan teorinya.

“Sejak lima bulan yang lalu.” Bu Neni buru-buru memberi tahu setelah aku memperhatikan banyak tumpukan dokumen pembayaran yang belum diverifikasi, masih dalam ikatan tali setengah rapi. Penjelasan ini menjawab sebagian rasa ingin tahuku sebelumnya, mengapa harus sepuluh orang yang ditugaskan dalam satu kantor, sementara di tempat lain cukup dua atau tiga saja bahkan satu orang.

Kami bersepuluh seperti membawa misi khusus untuk menuntaskan sesuatu yang lama terbengkalai. Sambutan yang hangat semakin menguatkan mental dan keyakinanku bahwa aku akan betah di sini, ditambah lagi dengan tak segan-segannya para pegawai memberitahu cara kami harus bekerja. Keragaman lingkungan dari segi usia, suku dan keyakinan sama sekali tidak mengurangi rasa nyaman untuk saling membantu dan menghargai. Ini laboratorium kehidupan yang ideal yang akan menempaku menjadi lebih tangguh dan dewasa.

Hari-hari yang aku lewati terasa seperti tidak ada kendala yang berarti. Kesibukan di kantor dan keceriaan di rumah bersama teman-teman menjadi pengalih perhatian paling sukses agar aku tidak berlarut-larut dalam kesedihan dan kerinduan pada istriku. Empat bulan yang berlalu aku merasakan diriku belum sepenuh seperti biasanya. Separuh jiwaku masih tertinggal. Dan perasaan ini semakin menjadi-jadi menjelang hari di mana aku harus menjemputnya.

***

Aku sudah di bandara beberapa jam sebelum perkiraan waktu kedatangan penerbangan yang membawa penggalan setengah jiwaku. Sudah aku buang jauh-jauh sesuatu yang aku kenal sebagai kesabaran. Tepat pada saat yang ditunggu-tunggu, tidaklah sulit untuk mengenali sesosok beraut ceria penuh kerinduan menghampiriku. Luapan kebahagiaan pada siang ini berujung pada tangis penuh haru. Ya Tuhan, terima kasih sudah mengumpulkan kami kembali.

Tidak ada pilihan lain kecuali aku harus memisahkan diri dari teman-teman untuk kemudian menyewa rumah kontrakan sederhana di pinggiran kota yang berjarak kurang lebih setengah jam perjalanan menuju kantor.
Dan sebentar lagi rumah itu akan menjadi saksi peresmian bertemunya pecahan-pecahan diri menjadi sesuatu yang sempurna. Rindu-rindu kami telah menemukan muaranya.

***

Pagi ini, sebagaimana biasa sejak ada istriku, aku berangkat ke kantor dengan suasana penuh keceriaan. Ucapan pamitku yang dibalas senyum indah dengan pesan untuk hati-hati menjadi bahan bakar penyemangat yang baru.
Di dalam angkutan umum sepanjang perjalanan, aku hanya ditemani lamunan betapa indahnya makan malam berdua nanti. Beruntung tidak ada kaca yang mampu memantulkan semua bayangan di depannya, sehingga aku terbebas dari rasa malu atas ulahku,  tersenyum-senyum sendiri.

Sesampai di kantor, seperti biasa aku berusaha menyapa siapa saja dengan ramah. Yang selalu menjadi harapanku adalah bahwa kehadiranku harus membuat semua orang merasa senyaman mungkin. Aku tidak mau ada orang yang sedih, tersinggung, dan bahkan marah disebabkan oleh sesuatu yang aku lakukan.
Sebelum aku duduk, pandanganku dipaksa untuk tertuju pada map merah mencolok yang ada di mejaku. Aku merasa ada yang sengaja meninggalkan map merah ini sebelum kemudian Bu Neni dengan senyum khasnya meyakinkan kebenaran dugaanku tadi. “Tinggal kamu yang belum”.

“Belum apa Bu?” sesuatu yang aku perlu tahu karena ucapan yang tidak utuh itu. Belum sempat aku mendapatkan jawaban, Bu Neni memberi isyarat aku untuk membuka map merah ini.
Penglihatanku tak sulit untuk segera tertuju pada ruang kosong pada kolom tanda tangan tepat di sebelah kanan namaku yang diketik dengan rapi. Ternyata aku belum tanda tangan, batinku sekaligus menjawab sendiri pertanyaanku tadi, sambil melihat-lihat lembaran berikutnya yang tidak berbeda dari yang pertama kecuali hanya hari dan tanggal saja.

Tiba-tiba hatiku merasa terusik ketika mengetahui rupanya ini daftar hadir untuk sesuatu yang tidak aku lakukan. Mungkin ini yang dikatakan orang-orang bahwa di dunia kerja akan banyak tantangan yang tidak pernah ada di bangku kuliah. Aku seperti di persimpangan jalan, belum tahu harus memilih jalan yang mana. Tetap menandatangani atau tidak. Hatiku seperti berbisik, “menandatangani adalah pilihan paling sulit untuk diterima nurani,” tetapi tidak menandatangani juga bukan perkara yang mudah dipahami oleh teman-teman lainnya. Menuruti hatiku atau menjaga hati teman-teman kantorku, dua hal yang sedang bertarung berebut pengaruh untuk dipilih sebagai keputusan akhirku.
“Apakah boleh tidak tanda tangan Bu?” tanyaku bernada meminta kepada Bu Neni. Hal ini perlu  aku sampaikan dengan hati-hati, khawatir muncul prasangka beragam atas alasan dari sikapku ini. Dari mulai sok suci atau sudah tidak butuh uang lagi atau yang lain.

“Ya, nanti saya sampaikan ke Pak Robert,” jawaban Bu Neni ini menghapus bersih kerisauanku. Masalah selesai, pikirku.

Beberapa menit sebelum waktunya pulang, aku diminta menghadap Pak Robert yang dari sejak aku masuk ke ruangannya map merah tidak terlepas dari genggamannya. Aku hanya menunggu apa yang akan disampaikan, tanpa harus bersusah payah menebak-nebak yang akan terjadi.

“Kenapa tidak mau tanda tangan?” tanya Pak Robert datar. Aku masih diam saja karena merasa kesulitan menyampaikan alasan yang sebenarnya.

“Kalian sudah bekerja keras menyelesaikan pekerjaan yang lama terbengkalai, dan ini bentuk perhatian kami kepada kalian.” Sebuah penjelasan yang masuk akal, tapi belum cukup untuk memberikan ketenangan hatiku.

“Tidak tanda tangan tidak apa-apa kan pak?” tanyaku menyusul ucapan rasa terima kasih tak terbilang atas perhatian dan penghargaan yang diberikan. Kalimat ini aku ucapkan dengan sangat hati-hati, supaya tidak ada kesan meninggikan diri atau sesuatu yang disalahpahmi sebagai kesan tidak baik lainnya dengan sambil tetap menjaga raut muka senyum tanda menaruh hormat kepadanya.

Mungkin merasa jawabanku tidak memuaskan, Pak Robert berdiri lalu membanting pelan map merah sambil berkata dengan suara agak meninggi, “Saya tidak mau tahu, harus tanda tangan!” Pak Robert bergegas keluar ruangan sementara aku masih diliputi perasaan campur aduk tidak karuan. Ada rasa bersalah karena sudah membuat atasanku marah, ada rasa tidak tenang untuk sesuatu yang hatiku tidak bisa menerimanya. Di waktu sempit ini, aku seperti dipaksa untuk tidak punya pilihan lain kecuali harus menuruti perintah atasanku. Sore ini aku pulang ditemani sesuatu yang sangat membebani pikiranku. Perjalanan pulangku menjadi terasa sangat jauh.

***

Sejak peristiwa aku menandatangani isi map merah itu, aku tak pernah benar-benar merasa tenang. Bahkan uang yang harus aku terima masih aku simpan rapi, belum terpikirkan akan digunakan untuk hal apapun, sambil mencari cara yang bisa aku lakukan untuk menebus ketidaknyataan dalam daftar itu.

Pernah aku coba untuk pulang lebih lambat selama kurun waktu yang tertuang dalam daftar itu, namun upaya ini tidak bertahan lama. Aku merasa bersalah kepada Pak Alex, petugas yang membuka dan mengunci kantor,  yang harus menungguku menyelesaikan misi tebusanku. Pekerjaan kantor memang selalu ada, tetapi melakukan sesuatu dengan membebani orang lain bukan pilihan yang bijak, pikirku.

Aku masih merasa belum tenang, sampai pada keputusanku untuk membawa pekerjaan kantor ke rumah, sebagai pembuktian bahwa apa yang ada dalam daftar itu betul-betul aku lakukan. Kelihatannya ini agak rumit, namun ini cara yang menurutku paling membuatku tenang. Ini bukanlah yang ideal, tidak sebagaimana yang seharusnya aku sudah tolak dari sejak awal. Aku lemah dari sisi ini, tapi aku masih bersyukur diberi perasaan yang tidak pernah tenang untuk hal yang mengganggu pikiran ini.

“Ini mas, mumpung masih hangat,” istriku sambil menyodorkan cangkir berisi teh yang khusus dibawa dari kampung halaman, sementara aku masih mencari satu per satu angka yang menyebabkan selisih antara penjumlahan oleh aplikasi komputer dan penjumlahan oleh mesin struk yang sepenuhnya dilakukan secara manual. Dalam beberapa malam ini, aku memarng selalu ditemani istriku, manusia yang dikirim Tuhan membantuku mendapatkan ketenangan dengan caraku sendiri.

***

Siang ini, di sela-sela waktu istirahat aku menyempatkan untuk mengunjungi salah satu teman yang aku kenal di tempat kerja yang tidak jauh dari kantorku, namanya Tegar. Meski membicarakan hal-hal ringan, tetapi hampir selalu terasa menarik selama aku berteman dengan dia. Ada kertas lusuh yang terlipat tak rapi di meja Tegar. Aku pikir tak ada salahnya untuk membuka lipatan dan mengetahui isinya sebelum aku buang ke tempat sampah. Rupanya kertas itu adalah bukti setor salah satu bank pemerintah yang tak jauh dari kantorku. “Penerimaan lainnya.” Itu bunyi tulisan yang aku baca di bukti setor itu.

“Ini punya siapa mas?” selidikku.

“Tidak tahu,” Tegar menjawab sekenanya. Tetapi aku yakin dialah pemiliknya, aku sudah mengenal dengan baik tulisan tangannya yang sekarang ada di bukti setor itu.

Aku tahu Tegar tidak mau menerima segala jenis uang yang tak jelas terdefinisikan.  Tetapi ketika uang yang sudah terlanjur atau terpaksa dia terimapun akan disetor ke kas negara, ini yang aku baru tahu dengan mata kepalaku sendiri. Aku beruntung memiliki teman yang sanggup berjuang untuk sesuatu yang membuat lebih tenang. Ya, dia memang setegar namanya.

***

Pertemuanku dengan Tegar siang ini, betul-betul menjadi pelajaran yang paling berharga yang pernah aku temukan sepanjang pengalaman bekerjaku. Meski yang aku lakukan masih jauh dari apa yang dilakukan Tegar, tetapi setidaknya aku punya teman untuk sebuah perjuangan yang berawal dari bagaimana menjadi pendengar yang baik ketika nurani sedang menyampaikan pendapatnya. Mintalah fatwa kepada hatimu, begitu kira-kira pesan yang pernah aku dengar dan aku bisa merasakan langsung sekarang ini. Kekhawatiranku tentu ketika hatiku sudah tak sanggup menangkap sinyal-sinyal peringatan dari Tuhan. Ini musibah yang paling takutkan, hilangnya kepekaan hatiku.

Ini adalah perjuangan dalam sepi, karena hanya diri kita yang tahu dan merasakan gejolaknya. Tegar hanya satu dari sekian banyak orang yang mampu membentengi diri dengan nurani hatinya. Para pejuang seperti ini tidak pernah menghiraukan apapun karena mereka akan tetap melakukan sesuatu yang berharga meski tidak di atas panggung-panggung yang akan dilihat banyak orang.

Aku yakin pasti banyak pejuang yang serupa ini, tetapi tetap saja jika gejolak datang, akan terasa sepi, seperti merasa sendiri, sesuatu yang harus aku lawan semampu yang aku bisa. Aku berjalan pulang dengan dihantui rasa khawatir dan penuh harap, sambil lirih berucap, "Ya Tuhanku, aku tidak mau jauh-jauh dari hatiku"

Tamat

***

Oleh: JoRay

Sunday Pop Culture



Hari ini Minggu, 14 Juni 2024. Biasanya saya gereja pagi tapi karena satu dan banyak alasan lainnya maka hari ini diputuskan untuk gereja sore. Dikarenakan cuaca panas dan untuk mengurangi pengeluaran pada akun belanja listrik maka diputuskan untuk menunggu waktu ibadah dimulai sambil ngopi di sebuah mall dekat gereja, sudah adem ACnya kopinya juga gratis karena ditukar komik yang sudah lama nongkrong di lemari buku.


Tadinya mau menghabiskan waktu dengan membaca buku. Sudah membawa buku lama "Filosofi Teras" untuk dibaca kembali. Tetapi yang terpegang pertama kali ketika merogoh ke dalam tas adalah kantong kacang bersalut merk Kacang Shanghai Zico produksi Tomohon, Sulawesi Utara yang sisa sepertiga. Alhasil, saya makan kacang sambil scroll HP dan menemukan pernyataan bahwa menulis online adalah salah satu hal yang ROI-nya paling tinggi dan kebanyakan orang lebih nyaman mengunggah poto liburannya dari pada menuliskan opininya di dunia maya karena takut menunjukkan jati dirinya.


Oleh karena itu saya menulis tulisan ini untuk diunggah ke bukan nota dinas dengan harapan akan menjadi jalan ninja saya untuk aktif menulis kembali di BND. Nah, kembali ke judul. Sunday pop culture adalah kebiasaan kebanyakan orang menghabiskan hari Minggunya dengan ngopi di mall sambil main HP, ngobrol dengan handai taulan, membaca buku, atau sekedar bengong menunggu malam tiba dan kembali ke rumah sendirian karena memang dia jomblo. Ya tentu saja penjelasan di atas yang buat ya saya dan tentu tanpa ada penelitian kuantitatif dan kuantitatif terlebih dahulu, kalau kata anak jaman old bisa dibilang "ngemeng aja". Karena sudah saya beritahukan maka saya harap anda sekalian tidak terlalu kecewa jika sebelumnya berharap istilah tersebut adalah hasil penelitian yang telah dituangkan ke dalam sebuah jurnal ilmiah bertaraf Q1.


Jadi, bagaimana hari Minggumu kawan, apakah kamu juga ngopi di mall?


#happysunday

Interaksi

Jejak selalu menjadi yang tertinggal

Kadang juga bukan menjadi yang ditinggal

Namun memang perjalanan itu sebuah kepastian

Dalam mencari sebuah kenangan kehidupan

 

Dalam perjalanan yang cukup lama

Bukan hal mudah untuk dilupakan

Meski suka dan duka dalam makna

Hingga sekian purnama pun akan terlewatkan

 

Interaksi dalam kehidupan akan banyak makna

Bukan interaksi dari Tulus yang penuh cinta

Interaksi ini penuh makna kehidupan fana

Meskipun dalam sebuah fakta dan realita

 

Namun perjalanan itu akan menjadi akhiran

Tanpa aksara dan suara

Hingga kehilangan menjadi sebuah oase kenangan

Tanpa pamitan dan bara

 

Jakarta, 06 Oktober 2023


Puisi ini juga bisa dinikmati pada tautan berikut :

https://rulyardiansyah.blogspot.com/  

Sepeninggal

 Jejak jejak langkah telah dijalani

Adakah tanda kehidupan yang tertinggal

Perlukah stempel kehidupan di tandai

 

Perjalanan hidup akan menjadi guru terbaik

Tanpa cela dan tanpa dusta

 

Kirakah kami yang menetap menjadi nyaman ?

Bukankah kehidupan itu berputar

 

Pencarian diri atas hingar bingar kehidupan

Hanya bagian dari sandiwara kehidupan

 


Bekasi, 16 September 2023

Puisi ini juga bisa di lihat pada tautan berikut 
https://rulyardiansyah.blogspot.com/ 

Sang Penghibur


Perkenalkan, namaku Sang Penghibur
Perjalanan hidupku di atur atur
Kadang ngawur
Kadang ngelindur

Akulah Sang Penghibur
Kadang dibutuhkan
Kadang dipertahankan
Tidak jarang di abaikan
Kadang lemah Iman

Sekali lagi ku katakan padamu
Akulah Sang Penghibur

Jakarta, 16 Mei 2024


Pemimpin

Luasnya samudra tak bisa dinakhodai

Bila tidak dengan seorang yang pandai

Tingginya gunung tak bisa didaki

Bila tidak dengan seorang yang rendah hati

 

Banyaknya pengalaman tak bisa di jalani

Bila tidak dengan jejak yang mumpuni

Banyaknya tugas tak bisa di geluti

Bila tidak dengan nurani yang suci

 

Seberapa banyak orang yang dipimpin

Tak akan berhasil dengan kearifan

Seberapa banyak harta yang dimiliki

Tak akan nikmat tanpa keberkahan  

 

Seberapa banyak kekuasaan yang di dekam

Tak akan berhasil dengan sikap bijak

Seberapa banyak dunia yang kau genggam

Tak akan berhasil dengan hak hakiki

 

Pemimpin itu ibarat angin

Bisa dirasakan tapi tak bisa dikuasai

Pemimpin itu ibarat cinta

Bisa dirasakan tapi tak bisa dimiliki

 

Hingga akhirnya angin yang membawa kebenaran

Hingga akhirnya cinta yang membawa kebahagiaan

 

 

Bekasi, 14 November 2021

Puisi ini bisa dilihat pada tautan berikut :
https://rulyardiansyah.blogspot.com/ 

Celoteh Angan Semu

Celoteh  menurut KBBI (kata benda) artinya obrolan atau percakapan yang tidak keruan (seperti percakapan anak kecil). Sedangkan bentuk tidak baku dari celoteh itu keloceh. Angan juga menurut KBBI (kata benda) artinya pikiran, ingatan, maksud, niat. Jadi celoteh angan dengan terjemahan bebas versi diri sendiri merupakan obrolan atau percakapan yang tidak keruan atas sebuah pikiran, ingatan, maksud atau niat. Dalam konteks ini hanya obrolan yang tidak memerlukan pihak lain, jadi saya asumsikan seperti monolog, tanpa harus lawan diskusi dengan orang kedua. Sedangkan kata semu, sesuatu yang bisa maupun tidak bisa di rengkuh, bisa menjadi angan jika tidak terwujud.

    Kenapa hal ini perlu saya angkat sebagai sebuah pemikiran (tidak serius, tapi bisa juga serius) mungkin juga tidak terlalu penting. Awalnya ketika berangkat bekerja, baik dengan kuda besi atau KRL atau kendaraan lain, saya banyak melihat hal – hal yang tidak seharusnya terjadi, tapi sejauh ini saya belum melihat langsung kecelakaan lalu lintas terhadap orang lain yang tidak berkendara atau berkendara atau pejalan kaki. Mari kita celoteh satu per satu sebagai sebuah renungan jika seandainya kita melakukan itu dan pihak yang menjadi korban adalah keluarga kita.

    Moda KRL. Penggunaan moda ini relatif sudah lebih baik dan teratur sejak dipimpin oleh Ignasius Jonan selaku Direktur Utama PT KAI tahun 2009 s.d. 2014. Banyak perubahan fundamental yang dirubah, SDM, Proses Bisnis, Kelengkapan Kereta serta Teknologi Informasi serta menghilangkan adanya per-calo-an. Para penumpang kereta baik kereta jarak jauh dan KRL sekarang sudah bisa merasakan kenyamanan dalam menggunakan moda transportasi ini. Atas perubahan ini saya mensyukuri dan semoga tetap berlangsung lama atas legasi nya pak Jonan.

    Moda Mobil. Moda ini relatif nyaman dan berbeda dengan kereta jarak jauh dan KRL. Jika seseorang memiliki mobil ini, “biasanya” menjadi indikator bahwa kebutuhan lainnya sudah terpenuhi, meskipun ada juga yang memenuhi mobil dulu dibanding kebutuhan pokok lainnya. Teori nya Abraham Maslow tidak terlalu belaku untuk orang yang masuk dalam kategori ini. Tapi bukan teorinya yang ingin saya jadikan celoteh atau ungkapkan, namun ada beberapa pertanyaan yaitu :  

§ kenapa ada beberapa kendaraan berjalan pelan tetapi di lajur kanan? Padahal lajur itu untuk kendaraan lebih cepat

§ kenapa marka jalan hanya berlaku di jalan tol (kadang berlaku) tetapi tidak di jalan bukan tol?

§  kenapa kebanyakan pemilik kendaraan pribadi parkir di jalan umum?

§ kenapa banyak mobil bagus tetapi berkendara tidak sesuai aturan? Misal dalam hal belok kanan, kiri dan berhenti bahkan melewati kendaraan lain di jalan tol dari bahu jalan

§  kenapa perilaku pengendara kendaraan lebih besar cenderung arogan dalam berkendara?

§ kenapa juga banyak sering sekali menggunakan klakson? Padahal penggunaan klakson itu dibatasi dalam kondisi tertentu.

§ kenapa juga banyak pengendara “merasa penting” hingga menggunakan “lampu strobo” sehingga mengabaikan kendaraan lain? Padahal kendaraan lain juga memiliki kepentingan yang sama. Padahal presiden ketika dikawal tidak menggunakan “sirene dan strobo”, bukankah jika presiden bersikap demikian, jajaran dibawahnya harus sama bukan melampaui?

    Biarlah pertanyaan ini tetap ada dan mungkin memang tidak perlu ada jawaban, karena hanya pengendara yang pernah melakukan hal hal di atas lebih mengetahui kenapa bisa demikian. Mungkin penerapan aturan dan pengenaan sanksi nya masih belum terlalu nyata dan berdampak langsung. Perlu di reviu kembali penerapan dan pengenaan sanksi nya oleh aparat terkait sehingga semua akan berjalan dengan tertib dan tidak ada kecelakaan bagi pihak yang di rugikan.

 Moda motor. Kalau bahas ini juga tidak akan selesai pembahasannya. Saya selaku pengendara kuda besi juga tidak sempurna dalam berkendara, tetapi saya selalu berusaha dengan sebaik - baiknya dan tertib. Jadi beberapa pertanyaan dengan celoteh saya yaitu

§  kenapa banyak pengguna motor terbiasa melawan arah?

§ kenapa banyak pengguna motor sering berjalan di atas trotoar, dengan mengambil hak pejalan kaki dan merasa tidak bersalah? Hal ini juga menjadi keheranan saya apakah Ojol juga memang diperbolehkan menggunakan trotoar? Banyak penentang larangan penggunaan trotoar juga dari para pelaku ojol.

§ kenapa banyak pengendara motor berhenti di atas garis zebra cross? (peruntukan pejalan kaki yang akan menyeberang)  

§ kenapa banyak pengendara juga masih belum tau jika tanda belok kiri langsung tidak ada artinya harus mengikuti rambu lalu lintas yang ada?

§ kenapa banyak pengendara motor tidak menggunakan helm? Padahal kalau pengendara tidak menggunakan helm berarti dia tidak peduli dengan orang lain, karena keselamatan dirinya aja sudah tidak peduli, bagaimana dengan orang lain.

§ kenapa pengendara motor jika di sore hari banyak mengajak berkendara motor bersama keluarganya (namun berkendara tidak menggunakan perlengkapan keselamatan seperti helm dan lainnya)?   

    Sama dengan pertanyaan diatas, biarlah pertanyaan ini menjadi pertanyaan yang mungkin hanya bisa di jawab oleh para pengendara yang melakukan hal hal diatas.

    Mungkin bisa jadi solusi untuk mengamankan pengguna jalan di trotoar, bisa dipasang paku jalan yang tidak bersahabat untuk roda motor tapi bersahabat dengan kaki pejalan kaki, sehingga pengguna motor tidak berani menggunakan trotoar sebagai jalan pintasnya. Selain itu juga penerapan aturan juga harus tegas dan tidak pilih pilih, sehingga berlaku setara.

Semoga kita semua selalu berkendara sesuai dengan ketentuan yang berlaku yaitu UU Nomor 22 Tahun 2019 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan


Tulisan ini bisa juga di lihat pad tautan berikut : 
https://rulyardiansyah.blogspot.com/ 

Permata

Saya mengenal Kartini DJA ini pertama kali saat kami bergabung dalam satu komunitas penulisan di DJA. Seorang teman yang menurut saya mempunyai hasrat belajar dan berprestasi yang begitu kuat dimanapun Beliau berada dan ditempatkan. Mungkin ini adalah buah dari doa yang disematkan oleh orang tua Beliau pada namanya” Permata”, sosok yang diharapkan akan sealau berkilau dimanapun dan kapanpun berada.

Saat bertugas di Sekretariat Ditjen Anggaran, Beliau adalah salah satu dari inisiator dan pengelola media sosial DJA, sebuah corong media terkini untuk mengamplifikasi kebijakan pemerintah khususnya berkaitan dengan pengelolaan anggaran.

Melalui tangan dinginnya, media sosial DJA semakin dikenal dan memperoleh banyak perhatian dan subscriber dari masyarakat. Dari dunia kepenulisan, Beliau juga pernah menjadi juara pada satu kompetisi menulis yang diselenggarakan oleh Bagian Pengembangan SDM DJA. Dalam dunia komunikasi Beliau menjadi langganan penugasan sebagai Master Of Ceremony untuk acara di level organisasi DJA maupun Kemenkeu. Beberapa kiprah yang telah dilakukan pada saat itu, pada kemudian hari menjadikan Beliau mendapat penghargaan sebagai kesatria inspirasi DJA.

Dalam hal belajar dan mencari ilmu, Beliau punya keinginan kuat untuk bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Pernikahan dan/atau tugas tugas domestiknya selaku ibu rumah tangga tidak menjadi penghalang untuk mencapai cita-citanya tersebut. Beruntungnya, pasangan beliau sangat mendukung dan memegang prinsip bahwa “lelaki dan perempuan mempunyai kesempatan yang sama dalam menuntut ilmu”. Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan tersebut akhirnya datanga pada tahun 2021, setelah lolos dalam seleksi penerima beasiswa double degree dari FETA Scholarship di dua perguruan tinggi  ternama di dalam dan luar negeri.

Jalan Terjal

Berkat Karunia Allah yang Maha Kuasa, Kesempatan menuntut ilmu dan melanjutkan Pendidikan sebagaimana yang Beliau cita-citakan akhirnya datang. Sejak awal prosesnya, Beliau menyadari sepenuhnya bahwa melanjutkan pendidikan setelah menikah  mempunyai konsekuensi, harus bisa  membagi waktu, perhatian dan pemikiran agar bisa menjalani perkuliahan tanpa mengabaikan tugas domestiknya selaku  ibu rumah tangga.

Tetapi ternyata takdir Tuhan berkehendak lain, beliau harus menjalaninya dengan proses yang lebih berat dari yang diperkirakan sebelumnya. Pandemi covid 19 yang melanda tanah air dan beberapa negara, menjadikan demikian banyak hal berubah dan menuntut orang untuk menyesuaikannya. Termasuk dalam proses belajar mengajar.aktifitas belajar mengajar yang semula dilakukan secara tatap muka harus dilakukan secara daring/online. Namun yang lebih berat, selama proses perkuliahan  Beliau mengalami kehamilan yang tak direncanakan, melahirkan dan harus membawa putra putrinya yang masih bayi untuk menemani berangkat melanjutkan Pendidikan ke Melbourne.

Tanjakan pertama

Saat kuliah di Universitas Indonesia, kondisi pandemi menjadikan UI mengambil kebijakan proses belajar mengajar di lakukan secara online/daring. Perlu upaya ekstra untuk menyesuaikan dengan kebijakan ini, selain merubah kebiasaan dan budaya belajar, perlunya perangkat pendukung yang memadai, juga memerlukan konsentrasi lebih karena pada saat bersamaan harus membagi perhatian ke anak-anak/keluarga.

Selain kondisi tersebut, tantangan terberat yang dirasakan beliau adalah mengalami kehamilan yang tak direncanakan. Seperti kebanyakan ibu hamil pada umumnya, pada trimester pertama Beliau mengalami “morning sickness”’ satu kondisi di mana beliau merasa mual, lelah , kram dan emosi yang tidak stabil. Dalam kondisi seperti inilah, beliau  tetap harus menyelesaikan penugasan, thesis, publikasi dan diskusi Beberapa kali terjadi dalam perkuliahan, muntah sebelum dan sesudah presentasi menjadi semacam “’ritual”’ yang harus dijalani.

Berkat kerja keras, dukungan suami dan karunia Tuhan, pada bulan  Juni tahun 2021 Beliau menyelesaikan kuliah di Universitas Indonesia. Hal yang membanggakan dan patut dicontoh adalah di tengah tantangan yang dihadapi, Beliau memperoleh penghargaan sebagai mahasiswi peraih IPK tertinggi pada tahun ajaran 2021/2022.

Tanjakan kedua

Setelah menyelesaikan perkuliahan di Universitas Indonesia, Beliau tidak langsung berangkat ke Melbourne.  Selain pandemi Covid 19 yang belum mereda yang menjadikan penutupan/pembatasan perjalanan lintas negara dan perkuliahan dilakukan secara daring/online, pada awal pertengahan perkuliahan beliau juga mengajukan cuti untuk persiapan dan pemulihan pasca melahirkan. Hingga akhirnya lahir putri kedua Beliau dalam kondisi sehat walafiat.

Dengan meredanya pandemi covid, pada bulan Juni 2022 perkuliahan di Universitas Melbourne mulai dilakukan secara tatap muka/offline. Sebuah pilihan berat harus Beliau ambil, membawa serta kedua anaknya ke Melborne,  di mana sibungsu belum genap berusia dua bulan. Beruntungnya kebijakan organisasi  memungkinkan suami Beliau untuk mengajukan cuti karena alasan penting, sehingga bisa mendampingi Beliau ke Melbourne selama sisa masa perkuliahan.

Dalam beberapa momen, proses keberangkatan dan masa-masa perkuliahan di melbourne ini menghadirkan drama yang cukup menguras air mata (namun menjadi kenangan indah bermasa-masa setelahnya). Bayi kecil yang belum genap dua bulan  harus menjalani perjalanan dari Jakarta ke melbourne selama sepuluh jam. Rentang waktu perjalanan yang bahkan buat orang dewasa sekalipun terasa meletihkan. Namun bersyukurnya sepanjang perjalanan bayi kecil tersebut  sehat, anteng dan  tidak rewel dalam pelukan Ibu dan Bapaknya secara bergantian.

Tiba di Melbourne, Beliau dan keluarga harus segera beradaptasi dengan perbedaan budaya, bahasa dan cuaca antara Melbourne dan Jakarta.  Terkait kendala bahasa dan budaya, sang kakak yang di sekolahkan di Taman Kanak-kanak, sempat mengalami kesulitan beradaptasi.. Ada rasa sedih ketika terkadang menyaksikan teman sang kakak tak bisa memahami apa yang sang kakak  ingin sampaikan demikian juga sebaliknya, hingga sang kakak lebih memilih untuk menyendiri. Secara telaten beliau dan suami membantu dan mengajari sang kakak untuk bisa berkomunikasi dan beradaptasi, hingga tak lama kemudian telah mempunyai banyak teman belajar dan bermain. 

Di Kampus , Beliau harus menjalani padatnya rutinisas perkulihan, penugasan, diskusi, presentasi, publikasi dan kunjungan ke perpustakan. Di luar itu, Beliau bersama suami bahu membahu menjalani kehidupan berkeluarga, memasak bersama , membersihkan rumah, mengantar vaksin anak, bermain dan mengunjungi tempat-tempat wisata di seputaran kota.

Akhirnya, sesuai target pada bulan Agustus Tahun 2022.Beliau menyelesaikan pendidikannya di Unievrsitas Melbourne. Seperti tak pernah bosan untuk berprestasi, Beliau juga mendapatkan first class honours Sebuah gelar untuk peraih nilai IPK tertinggi.

 

Epilog

Hasrat dan keinginan untuk berprestasi, akan mendorong orang untuk berupaya melakukan dengan cara terbaik dan meraih hasil terbaik. Beliau masih terus menjadi “’permata”’ di tempat penugasan berikutnya. Terakhir kali pada acara serambi DJA tahun 2023 Beliau menerima penghargaan sebagai AnggaranKsatriainsipirasi.

 

Demikian,

Selamat Hari Kartini, untuk seluruh Ibu di Indonesia

 

Sutikno Slamet, 21 April 2023


Tulisan ini saya ikutsertakan dalam lomba menulis dalam rangka hari anggaran 2024