Jejak Yang Tertinggal

Lihatlah ke belakang, ke jalan panjang yang telah kita lalui,
Ada banyak jejak kaki yang membuktikan betapa kuat kita mendaki.
Melewati kerikil tajam hingga padang bunga yang harum mewangi.

 

Setiap jejak adalah kenangan tentang perjuangan dan tawa,

Tentang bagaimana kita saling menguatkan saat salah satu kecewa.

Membangun benteng asmara dari bata-bata sabar dan doa.

 

Jangan takut melangkah ke depan meski jalanan masih misteri,

Sebab jejak-jejak masa lalu telah mengajari kita cara berdiri.

Berdua kita akan terus berjalan menyongsong mentari pagi.



Jakarta, 29 Desember 2025

Keabadian Kecil

Cinta ini mungkin tak akan pernah masuk dalam buku sejarah,
Namun di dalam duniaku, ia adalah sesuatu yang paling megah.
Sesuatu yang membuat hidupku tak lagi terasa sia-sia dan lelah.
 
Kita hanyalah dua manusia biasa yang sedang mencoba,
Menyatukan dua kepala di antara badai suka dan duka.
Menuliskan bab demi bab cerita di atas lembaran waktu yang ada.
 
Biarlah ini menjadi keabadian kecil milik kita berdua,
Tanpa perlu pengakuan dunia, tanpa perlu banyak kasta.
Cukup aku, kamu, dan rasa yang akan tetap ada selamanya.



Jakarta, 29 Desember 2025 

Karet Gelang Sang Adik (Part 2)

Kisah Kara dan Kari sebelumnya dapat dibaca pada tautan berikut :

Karet Gelang Sang Adik


Wajah Kara yang biasanya ceria kini pucat pasi. Panas tubuhnya meningkat drastis, dan kakinya yang mungil membengkak kemerahan di sekitar luka bekas besi berkarat itu. Kari, yang hanya seorang anak remaja, merasa dunianya seolah runtuh. Ia mencoba mengompres dahi adiknya dengan kain lusuh yang dibasahi air tawar, namun rintihan Kara tak kunjung reda.

"Sakit, Kak... dingin..." bisik Kara lirih, tangannya mencengkeram erat karet gelang pemberian ibu muda tempo hari. Karet itu kini melingkar di pergelangan tangannya yang kurus.

Kari tahu ia tidak bisa berdiam diri. Di saku celananya, hanya ada beberapa keping koin hasil mereka mengumpulkan botol plastik kemarin. Jumlahnya takkan cukup untuk membawa Kara ke klinik, apalagi rumah sakit besar. Namun, bayangan wajah orang tuanya yang hilang ditelan abu Merapi seolah memberinya kekuatan. Ia tidak boleh kehilangan satu-satunya keluarga yang ia miliki.

Dengan sisa tenaga yang ada, Kari menggendong Kara di punggungnya. Ia berlari kecil menuju jalan raya di kawasan Pantai Indah Kapuk, berharap menemukan keajaiban di antara gemerlap lampu restoran yang dulu pernah mereka pandangi dengan penuh harap.

Napas Kari tersengal-sengal. Keringat bercampur air mata membasahi pipinya. Di depan sebuah restoran seafood yang mewah, ia jatuh terduduk karena kelelahan. Orang-orang berpakaian rapi yang baru saja keluar dari restoran menatap mereka dengan tatapan iba, namun kebanyakan hanya berlalu begitu saja.

"Tolong... tolong adik saya..." isak Kari, suaranya parau.

Tiba-tiba, sebuah mobil putih berhenti tepat di depan mereka. Pintu terbuka, dan keluarlah sosok wanita yang tidak asing. Ia adalah ibu muda yang memberikan karet gelang kepada Kara tempo hari. Wajahnya tampak terkejut melihat kondisi kedua anak itu.

"Ya Tuhan, apa yang terjadi?" tanyanya panik sambil berlutut di samping Kari.

"Kaki Kara, Bu... terkena besi karatan. Dia demam tinggi," jawab Kari terbata-bata.

Tanpa banyak bicara, ibu muda itu membantu Kari menaikkan Kara ke kursi belakang mobilnya yang bersih dan harum. Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, Kari terus memegang tangan adiknya, membisikkan doa-doa yang dulu diajarkan ibunya. 

Beberapa jam kemudian, di ruang IGD yang dingin, dokter memberikan penanganan cepat untuk mencegah infeksi menyebar lebih jauh. Kari terduduk lesu di koridor rumah sakit. Ibu muda itu, yang kemudian memperkenalkan diri sebagai Bu Arini, datang membawakannya segelas air dan sebungkus nasi hangat. 

"Istirahatlah, Kari. Adikmu sudah ditangani. Dokter bilang dia akan baik-baik saja setelah diberi suntikan tetanus dan antibiotik," kata Bu Arini lembut.

Kari menatap Bu Arini dengan mata berkaca-kaca. "Kenapa Ibu menolong kami? Kami bukan siapa-siapa."

Bu Arini tersenyum tipis, matanya menatap karet gelang yang masih melingkar di tangan Kara yang kini tertidur pulas. "Ibu juga punya seorang adik, tapi kami terpisah sejak kecil. Melihat kalian berdua saling menjaga, Ibu merasa diingatkan bahwa kekayaan yang sesungguhnya bukan apa yang ada di piring restoran mewah itu, tapi kasih sayang yang kalian miliki."

Malam itu, di bawah atap rumah sakit yang kokoh, untuk pertama kalinya Kari tidak perlu memikirkan bagaimana cara mencari sisa makanan untuk esok hari. Ia menyadari satu hal: meski hidup mereka penuh dengan luka dan kehilangan, Tuhan selalu menyisipkan tangan-tangan baik di tengah kerasnya kota Jakarta.

Kara perlahan membuka matanya dan tersenyum lemah melihat kakaknya ada di sampingnya. Petualangan mereka memang masih panjang dan penuh tantangan, namun malam itu, mereka tahu bahwa mereka tidak lagi benar-benar sendirian.

Bersambung ...



it's getting really crowded here

katamu aku suka berasumsi

padahal aku lebih suka tidak berada disini

katamu kau tidak mencintainya

tapi saat bersumpah atas nama Tuhan,

maksudmu Tuhan yang mana?


curangkah sorot mata lain

yang mengundang senyumku?

jika ada nama yang lain

dalam hening sembah sujudmu?


tak peduli jika kau lahir dari

dua orang yang tak tahu cara mencintai

tak jadi hakmu untuk terus mencaci

hati yang selalu memaklumi


karena pada akhirnya…

luka akan berhenti memaafkan pisau

dan dendam tak lagi menyembunyikan dirinya

dari rasa takut dan risau


jadi siapa di antara kita

yang berani untuk lebih dulu akui?

email I can't send

embun pagi mengapa sendu

lingkaran hari mengapa absis

jangan begitu ini momenku

tak peduli aku bukan penulis

selamanya kamu abadi dalam karyaku


jangan banyak bertanya

apa makna dari untaian kata

jangan biarkan aku jadi pendusta

karena jawabannya akan selalu sama

masih kamu yang jadi pemenangnya


entah sampai kapan.


 


what we did not become

we were not a story

that forgot how to end,

we were a pause,

long enough to breathe

yet too short to stay.


you were like coming up for fresh air,

it’s like I was drowning and you saved me.


I chose a life

that already knew my name,

and you chose silence

a love so sincere 

it doesn’t make a sound.


if there is any mercy in this,

it’s that we couldn't break

what we never claimed.


and if I miss you, 

let it be gently,

like missing a window

after learning how to breathe outside.


there's many kind of love,

this is the one that doesn’t ask for possession,

or a future,

it simply exists, quietly, with respect.


it was never meant to turn into something we shouldn’t become.

not the kind that crosses lines,

only the kind that wishes you well,

even from a distance.

Duka Kami untuk Sumatera

Malam itu,

Malam yang mestinya damai dengan sinar bulan

Dan nyanyian binatang malam yang melenakan

berganti seketika,

Menjadi malam yang tak akan pernah terlupakan

 

Bayi yang terbuai dalam ayunan, terpekik menjerit

Ibu-ibu berteriak, bapak-bapak berlari kalang kabut

Ribuan burung terbang riuh menjauh…

Rumah, sawah, kendaraan, dalam sekejap hanyut

 

Malam itu, keheningan malam menjadi gegap gempita

Suara gemuruh yang mengalahkan suara badai membahana

Yang akhirnya,  hanya terdengar suara takbir bersahutan

Allohu akbar…

 

Sudah berapa meter lumpur menggunung

Dan batang raksasa menumpuk

Ketika air mulai menyusut, menyisakan perih yang berpaut

 

Dan di bawah itu, tanahku..

Orang tuaku, abang dan adik-adikku..

Entah sudah berapa banyak air mata tumpah,

Dan kepedihan membawa sumpah serapah

Semua mencari siapa yang salah

 

Tapi hidup sebagian kami belum berakhir

Kami berpegang erat satu sama lain,

Saling menggenggam, saling menguatkan

Seperti harapan yang selalu ada di titik nadir

 

Drupadi (3)

Drupadi
siapakah yang mengirimkanmu pesan saat kita tengah berbincang sedekat ini? 
pesan yang membuatmu sumringah tersenyum sendiri,
bagai senyum  gadis usia belasan yang jatuh hati,
aku tak ingin bertanya jauh, ku tahu kau akan punya jawaban seribu versi, 
karena nama belakangmu "alibi"


Drupadi,
ada kisah yang konon tervalidasi,
kelihaianmu  beralibi begitu teruji,
suatu ketika ada perempuan yang lelakinya kau dekati, 
menemukan setumpuk bukti, 
kalau kau lah  yang memulai bermain api,
alih alih segera berhenti, 
seperti juru kampanye engkau memilih pergi kesana kemari, 
menyulap fakta terlihat fiksi, 
mengubah  kisah nyata seolah rekaan orang yang dengki

Kau tahu hasilnya, Drupadi 
begitu banyak orang yang memberimu simpati

Drupadi...drupadi, 
hidup kadang memang menghadirkan tragedi,
perempuan  yang kau tikam dadanya dengan belati, 
disalahkan karena ceceran darahnya mengotori gaunmu yang putih suci.

Apa yang sebenarnya engkau cari?
Apakah semua ini adalah pelarian dari hidupmu yang sepi?
tahun tahun ini dengan segala bujuk rayu dan manipulasi,
engkau mendekati banyak lelaki, 
kau jadikan mereka semacam koleksi, 
di bawah kontrolmu lelaki hebatpun seperti kehilangan akal budi,
terhanyut pada sekenario permainan dan  kompetisi, 
kau relakan  dirimu seumpama trophi, 
yang diperebutkan dan dipergilirkan kesana kemari

mudah sekali, 
kepalamu bergelayut mesra di bahu satu lelaki,
berjalin tangan dengan lelaki berbeda di lain hari.
Berbincang mesra dengan lelaki penyanyi di pagi hari,
makan malam romantisnya  dengan lelaki penari.
Menangis sedih ditinggal lelaki pemikir yang pergi, 
lalu bergegas  bercengkerama dengan lelaki pemuja sepi. 
Bertukar pesan menggoda dengan lajangnya lelaki,
berkirim swafoto  dengan lelaki beristri.

Ah untuk urusan ini, kau liar sekali 


Drupadi
Apakah kau pikir ini kan abadi? 
apakah Lima tahun atau enam tahun lagi, 
pesonamu masih akan mampu menaklukkan banyak lelaki ?
Lima atau enam tahun setelah hari ini,
Kulit wajahmu mungkin takkan elastis lagi,
minuman dan krim pelawan usia yang kau beli, 
tak akan berkhasiat menunda atau membuat berhenti 
menebalnya garis senyum di ujung pipi,
menegasnya kerutan sepanjang dahi
Rambutmu yang dahulu berurai wangi,
akan memutih sewarna kabut pagi, 
semir rambut hitammu hanya menguji konsistensi, 
bertahan dalam hitungan hari.
Langkahmu, yang dulu ringan dan percaya diri, 
akan mulai tertatih mengisyaratkan  nyeri, 
gemeretak pelumas lututmu yang kurang isi
Aku kasih tahu rahasia kecil ini, Drupadi
kebanyakan mereka kaum lelaki brengsek sekali 
penyanyi atau penari, 
pebasket atau pelari, 
lajang atau beristri , 
siapapun yang saat ini kau dekati, 
mungkin berbeda dalam puja puji, 
tapi kebanyakan mereka visual sekali
Kelak, saat  tubuhmu tak menarik lagi, 
mereka akan bergegas pergi, 
dan kisahmu  yang berawal dari hasrat hewani,
tak akan pernah abadi 
ah .....yaa sudahlah Drupadi 
Malam telah melangkah jauh menjelang pagi, 
Lekaslah pergi
lelakimu pasti sudah pulang kembali.

 
(Pada hari minggu,  sebelum bertugas mencuci baju, 30 Nov 25)